Setelah pelaksanaan Pemilu 17 April 2019, Gubernur Bali Wayan Koster menyatakan Bali damai. Tak hanya itu, Koster, yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Bali, memastikan kemenangan pasangan Joko Widodo dan Ma’aruf Amin menang lebih dari 90 persen dari penghitungan cepat.
Ia bercerita ditelepon Joko Widodo Kamis (18/4/2019) petang dari Jakarta. Koster mendapat ucapan selamat kala itu. Mulai dari kesuksesan Bali melaksanakan pemilu damai hingga kemenangan Joko Widodo hingga 90 persen atau melampui target sebelumnya, sekitar 80 persen. Ucapan terima kasih ia dapatkan lagi saat diundang ke Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (22/4).
Bali memang belum jadi barometer utama politik nasional. Namanya kalah tenar ketimbang Pulau Jawa. Namun, sejauh ini, Bali adalah salah satu basis kuat bagi PDI Perjuangan, partai asal Joko Widodo.
“Sekuat tenaga, kader berjuang merebut target 10 persen. Partisipasi masyarakat Bali ketika pemilihan gubernur dan wakil gubernur tahun 2018 lalu, tercatat sekitar 72 persen dan kemenangan di kader PDI Perjuangan. Maka, dalam pemilihan presiden dan wakil presiden ini, kader berupaya meningkatkan partisipasi agar menang 80 persen,” kata Ketua Tim Pemenangan PDI Perjuangan Bali Alit Kelakan.
Ia pun menyusun strategi untuk kemenangan. Para kader belajar dari pengalaman, dimulai pemilu tahun 2004. Saat itu, Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono asal Partai Demokrat mampu memikat hati orang Bali. Padahal, Bali dikenal sebagai "kandang" banteng.
Saat itu, suara PDI Perjuangan turun, dari 79,5 persen menjadi hanya 51,7 persen. Sementara suara Partai Golkar naik dari 10,5 persen ke 17,5 persen, dan Partai Demokrat hanya 5,5 persen.
Pemilu Presiden tahun 2014, juga menjadi atensi. Saat itu, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, mendapatkan sekitar 72 persen suara di Bali dengan partisipasi pemilih 72 persen. Tahun ini, Joko Widodo semakin menyakinkan. Di luar dugaan, calon petahana ini merengkuh suara hingga 92 persen dengan angka partisipasi naik 81 persen.
Di persaingan legislatif juga tak kalah menarik. Di Denpasar, misalnya, pemain baru, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) unjuk gigi. Lima tahun lalu, delapan kursi dimenangkan oleh PDI Perjuangan (4 kursi), Partai Golkar (2), Partai Nasdem (1), dan Partai Gerindra (1). Sekarang di tahun 2019, kedudukan kursi berubah menjadi PDI Perjuangan (6), Partai Golkar (1), Partai Nasdem (1), dan PSI (1).
Pengamat sosial dan politik di Unversitas Udayana Ras Amanda Gelgel tak menyangka partai baru dengan konsep dan perwajahan baru mampu mencuri hati warga Bali. “Mereka benar-benar memperlihatkan sebagai partai yang baru. Bukan orang-orang lama lalu membuat partai baru. Bahkan, mereka pun tak mau bermain uang jor-joran. Sepertinya, partai ini bisa menjadi alternatif sasaran pemilih milenial,” katanya.
Terlepas dari apakah Bali kembali memerah menjadi “kandang banteng”, lanjut Amanda, warga Bali memiliki suara beragam termasuk partai yang benar-benar baru pun mendapatkan simpatisan, dan berjalan tetap damai. “Semoga angka partisipasi ini terus naik dan tidak turun lagi,” ujar Amanda.
Kejutan tersebut juga diungkapkan Guru Besar kajian budaya Universitas Udayana Dharma Putra. Menurutnya, kemenangan telak di Bali, tak lepas dari mitos dan rasionalitas atas lanskap politik orang Bali, misalnya kenangan sejarah Presiden Soekarno mengenai Bali. Mengenai surutnya dukungan Gerindra di Bali, bisa jadi dari sisi kajian budaya karena adanya polarisasi tajam politik nasional dan daerah, antar lain beberapa kadernya tersadung kasus pidana.
“Angkanya memang bombastis. Kemenangan 92 persen. Wangi musim semi Bali benar-benar milik atau untuk PDI Perjuangan serta Joko Widodo di Bali. Jika dikaitkan dengan politik identitas orang Bali, masyarakat merasakan identitas budaya mereka terwakili. Semoga Bali tetap damai dalam kejutan-kejutan pemilu,” ujar Dharma Putra.