Jalan penghubung antara Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, dengan empat kecamatan di Kabupaten Sigi kembali putus. Hanya sepeda motor dan kendaraan roda empat dari satu arah yang bisa melintas hingga Senin (20/5/2019) sore. Solusi permanen dibutuhkan. Salah satunya membangun tanggul agar jalan tak tergerus aliran sungai.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
SIGI, KOMPAS - Jalan penghubung antara Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, dengan empat kecamatan di Kabupaten Sigi, kembali putus. Hanya sepeda motor dan kendaraan roda empat dari satu arah yang bisa melintas hingga Senin (20/5/2019) sore. Solusi permanen dibutuhkan. Salah satunya membangun tanggul agar jalan tak tergerus aliran sungai.
Ruas jalan yang putus terletak di perbatasan Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa dengan Desa Salua, Kecamatan Kulawi. Lokasi itu berada di pinggir Sungai Miu di sisi barat dan tebing di sisi timur yang rawan longsor.
Panjang ruas jalan yang rusak itu 100 meter. Jalur tersebut menghubungkan Palu-Sigi dengan Kecamatan Kulawi, Kulawi Selatan, Pipikoro, serta Kecamatan Lindu. Volume sungai bertambah karena hujan pada tengah pekan minggu lalu.
Ruas itu tergerus aliran Sungai Miu, Kamis-Minggu (16-19/5/2019). Aliran air perlahan-lahan menggerus pinggir jalan. Sepeda motor melintas di jalan kecil di tebing dengan turunan dan tanjakan yang tajam.
Kendaraan roda empat bisa melintas dari arah selatan (Kecamatan Kulawi), tetapi banyak yang tidak mau ambil risiko. Kendaraan roda empat tidak bisa melintas dari arah utara (Palu) karena ada tanjakan menuju tebing yang berbecek. Praktis hanya sepeda motor menjadi andalan untuk angkutan orang dan barang.
Agus Setiawan (23), pedagang dari Desa Tomado, Kecamatan Lindu, menyatakan dibutuhkan penanganan permanen ruas-ruas jalan yang berada di pinggir sungai besar. “Salah satu caranya membangun tanggul atau beronjong agar air tidak menggerus jalan. Selama ini, masalah di sungainya tak ditangani. Yang dilakukan memotong tebing terus yang rawan longsor,” katanya.
Ia merasakan langsung dampak setiap putusnya jalur tersebut. Dengan pengangkutan barang melalui sepeda motor, biaya yang dikeluarkannya dua kali lipat. Agus harus mengangkut kakao dan barang-barang konsumsi dengan biaya dua kali lipat.
Seorang tukang ojek kini dibayar Rp 150.000 untuk mengangkut dua karung kakao, masing-masing seberat 70 kilogram atau barang konsumsi untuk dijualnya di Lindu. Padahal, biasanya dia hanya mengeluarkan Rp 75.000 untuk jasa ojek dari Lindu ke Sadaunta, Kecamatan Kulawi, sebelum kakao atau barang lain diangkut dengan mobil.
"Jelas kami menanggung biaya lebih besar dari kondisi ini. Kami minta harus ada penanganan permanen agar jalur ini aman," katanya.
Akhir April lalu, aliran Sungai Miu juga memutus jalan di Desa Tuva dengan tumpukan lumpur dan kayu gelondongan. Otoritas terkait butuh dua hari untuk menormalkan jalan.
Rusli (53), pemilik pangkalan gas elpiji di Desa Gimpu, Kecamatan Kulawi, terpaksa menjual elpiji subsidi seharga Rp 30.000 per tabung atau naik Rp 10.000 dari harga yang diperbolehkan. Harga naik karena dari ruas yang putus itu tabung elpiji diangkut dengan jasa ojek dengan biaya Rp 5.000 per tabung.
“Saya mau tunggu jalur ini diperbaiki tidak bisa karena persediaan elpiji menipis di pangkalan,” ujarnya.
Thamrin (60), tokoh masyarakat Desa Tuva, menuturkan alat berat sebenarnya beroperasi untuk memperluas jalan dengan memotong tebing begitu jalan tergerus. Namun, warga Tuva menghentikan aktvitas itu karena khawatir kebun di bagian atas tebing akan longsor.
“Saya sepakat solusinya bangun beronjong agar air tidak terus makan jalan,” katanya.
Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Sulteng Saefullah Djafar mengakui penghentian perbaikan jalan karena tuntutan warga. Dirinya sedang berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Balai Wilayah Sungai Sulawesi III, untuk menyelesaikan masalah tersebut.