Pembangunan 1.000 Hunian Tetap di Palu Dipastikan Sesuai Target
Pembangunan 1.000 hunian tetap tahap pertama untuk penyintas gempa, likuefaksi, dan tsunami di Kota Palu, Sulawesi Tengah, terus dikebut. Ditargetkan hunian tetap tersebut rampung dan ditempati September 2019.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Pembangunan 1.000 hunian tetap tahap pertama untuk penyintas gempa, likuefaksi, dan tsunami di Kota Palu, Sulawesi Tengah, terus dikebut. Hunian tetap tersebut ditargetkan rampung dan mulai ditempati September 2019.
Hunian tetap yang sedang dibangun berlokasi di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng. Sebanyak 60 unit rumah atau hunian tetap (huntap) dibangun.
Kebanyakan sudah berdiri dinding, sekat kamar, dan sebagian atap. Setiap huntap terdiri dari 2 kamar tidur, 1 kamar keluarga, dan 1 kamar mandi. Lantai rumah belum dikerjakan. Hunian tetap tersebut dibangun oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.
Sebanyak 60 unit rumah atau hunian tetap dibangun. Kebanyakan sudah berdiri dinding, sekat kamar, dan sebagian atap.
Ukuran bangunan atau rumah sesuai dengan standar pemerintah, yakni 6 meter x 6 meter atau tipe 36 di lahan 150 meter persegi. Antara satu rumah dan rumah lain terdapat jarak yang cukup. Satu blok terdiri dari 40 rumah.
”Kami usahakan bisa memenuhi target pembangunan hingga September,” kata Sony Mawardi, pelaksana lapangan proyek pembangunan huntap di Palu, Sulteng, Senin (27/5/2019).
Pembangunan huntap tersebut dimulai awal April. Material yang digunakan, untuk dinding dan sekat ruangan menggunakan bahan campuran beton dan serat kayu (conwood). Tebalnya sekitar 2,5 sentimeter.
Sony memastikan, huntap tersebut berkonsep tahan gempa. Selain dinding dan sekat yang relatif tak mudah retak, fondasi rumah dibangun dengan sistem cakar ayam (foot plate). Model itu bisa menahan beban bangunan saat gempa mengguncang.
Wakil Ketua Umum Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Sugianto Kusuma mengungkapkan, pengerjaan 1.000 unit huntap ditargetkan rampung dalam enam bulan. Hal ini agar penyintas yang memang berhak dapat direlokasi secepatnya untuk menempati rumah.
Mario Lontoh (38), seorang penyintas, menyatakan dirinya senang melihat perkembangan pengerjaan huntap. ”Selama ini, kami hanya dikasih tahu direlokasi, tak lebih dari itu. Tetapi, kini gambaran itu sudah mulai jelas,” ucapnya.
Saat ini, pekerja lokal yang dilibatkan dalam pembangunan huntap sebanyak 160 orang. Mereka diupah mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 125.000 per orang setiap hari. Selain diupah harian, sejumlah pekerja juga diupah per paket pekerjaan.
Baharuddin (42), pekerja dari Desa Enu, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, mengatakan, upah Rp 100.000 per hari mencukupi. Upah diterima setiap minggu.
Gempa, tsunami, dan likuefaksi melanda Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Parigi Moutong, dan Kota Palu pada 28 September 2018. Gempa menewaskan banyak orang serta menghancurkan dan menyebabkan hilangnya banyak rumah dan bangunan lain.
Penyintas yang rumahnya hancur atau hilang, yakni di bekas likuefaksi dan tsunami serta jalur sesar, direlokasi ke lokasi yang lebih aman.
Penyintas yang rumahnya hancur atau hilang, yakni di bekas likuefaksi dan tsunami serta jalur sesar, direlokasi ke tempat yang lebih aman. Pemerintah bersama dengan berbagai pihak membangun rumah atau huntap bagi mereka.
Di Palu, selain di Kelurahan Tondo, huntap juga dibangun di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga. Namun, hingga saat ini pembangunan huntap di sana belum dilakukan.