Sistem Zonasi Dikeluhkan Orangtua Calon Peserta Didik di DIY
Petunjuk teknis sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020 untuk tingkat SMA/SMK dikeluhkan sejumlah orangtua siswa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka khawatir kualitas semua sekolah belum merata.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Petunjuk teknis sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020 untuk tingkat SMA/SMK dikeluhkan sejumlah orangtua siswa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka khawatir, kualitas semua sekolah belum merata.
Sedikitnya 30 orangtua siswa dari sejumlah SMP di DIY menyampaikan kekhawatiran itu di Kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DIY, di Yogyakarta, Selasa (28/5/2019). Mereka diterima Kepala Ombudsman RI Perwakilan DIY Budhi Masturi.
Menurut Peraturan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY Nomor 0885/PERKA/2019 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019, ada tiga zona yang ditetapkan dalam penerimaan tersebut. Penetapan zonasi sekolah itu dilakukan Disdikpora DIY.
Satu sekolah sedikitnya melingkupi sekitar lima kelurahan. Namun, ada juga sekolah yang hanya melingkupi tiga kelurahan. Zona tersebut ditentukan jarak sekolah dengan rumah calon peserta didik. Prioritas peserta didik yang diterima berdasarkan nilai dan jarak antara rumah dan sekolahnya.
Basis zonasi itu ditentukan dengan menghitung populasi calon peserta didik. Adapun persentase penerimaannya 90 persen berbasis zonasi, 5 persen berbasis prestasi, dan 5 persen lainnya berbasis perpindahan tugas orangtua.
Nofrido, orangtua dari siswa SMPN 4 Pakem, mempertanyakan sistem tersebut. Ia belum yakin semua sekolah memiliki fasilitas dan kualitas yang merata. Ketua Komite Sekolah SMPN 5 Yogyakarta Banowo Setya Samudra khawatir dampak pergaulan sekolah zonasi.
Bawono juga mengkhawatirkan sistem zonasi bakal membuat anak-anak menjadi tidak kompetitif. Hal ini berkaitan dengan adanya sekolah-sekolah favorit yang menjadi rujukan anak-anak bernilai tinggi dan berprestasi.
”Padahal, setelah lulus SMA, dia akan mencari kuliah tidak dengan model zonasi. Mereka akan berkompetisi. Jika anak-anak tidak terbiasa berkompetisi, tidak terbayangkan nanti saat mencari perkuliahan,” ucap Bawono.
Ia menyarankan, perlu masa transisi guna menyetarakan kualitas sekolah di DIY. Tujuannya, menghapuskan persepsi masyarakat tentang sekolah favorit sekaligus kekhawatiran orangtua apabila sekolah tertentu justru bisa menghambat perkembangan anak.
Kepala Disdikpora DIY Baskara Aji mengatakan, sistem zonasi diterapkan untuk memeratakan pendidikan. Penyebaran siswa berprestasi diharapkan merata dan bisa mendorong peningkatan kualitas sekolahnya. Sistem tersebut juga ingin memberikan kepastian bagi siswa yang kemampuan akademisnya kurang dan berasal dari keluarga kurang mampu untuk bisa menempuh pendidikan di sekolah negeri berkualitas baik.
Baskara menambahkan, sekolah setingkat SMA di DIY sebagian besar sudah merata apabila melihat dari akreditasinya. Nilai yang diperoleh dalam proses akreditasi itu banyak yang mencapai 90 poin. Menurut dia, dengan kondisi itu, orangtua sebenarnya tidak perlu terlalu mengkhawatirkan persoalan akademis.
”Sudut pandang kualitas ini bisa lihat dari akreditasi. Semua sekolah sudah berakreditasi A. Selain itu, kualitas guru juga sudah merata,” ucap Baskara.
Kepala ORI Perwakilan DIY Budhi Masturi mengatakan tengah mengumpulkan keluhan-keluhan orangtua calon peserta didik tersebut. Setelah itu, ia baru akan menggelar rapat dan menyusun kesimpulan sebagai bahan perbaikan bagi Disdikpora DIY. Sejauh ini, ia melihat orangtua belum sepenuhnya dilibatkan.
”Proses penyesuaian peraturan ini tidak melibatkan orangtua. Orangtua diwakilkan oleh kepala sekolah. Saya menangkapnya, orangtua tidak dilibatkan. Jika ini terdeteksi sejak awal, ini bisa menjadi bahan evaluasi,” kata Budhi.