ODHA Stop Stigma Mereka Penyebarnya ...
Firgiawan Kholik (29), pria asal Bandung, Jawa Barat, ini tak patah arang menyebarkan ragam informasi hidup sehat untuk komunitas gay di Bali. Satu tujuannya, agar teman-teman komunitasnya terhindar menjadi pasien orang dengan HIV/Aids (ODHA). Segera periksa kesehatan mulai dini dan ini membantu membuktikan kepada publik, komunitas ini sehat.
Firgiawan Kholik (29), pria asal Bandung, Jawa Barat, ini tak patah arang menyebarkan ragam informasi hidup sehat untuk komunitas gay di Bali. Satu tujuannya, agar teman-teman komunitasnya terhindar menjadi pasien orang dengan HIV/Aids (ODHA). Segera periksa kesehatan mulai dini dan ini membantu membuktikan kepada publik, komunitas ini sehat.
“Pengalaman menderita sakit infeksi membuat saya sadar, betapa sehat itu penting. Saya berobat dan dinyatakan sembuh total. Kemudian, saya memutuskan untuk bergabung dan total menjadi penyuluh lapangan Gaya Dewata di tahun 2015 hingga sekarang,” kata Firgi.
Penolakan tentu banyak dijumpai Firgi ketika mencoba memasuki komunitas-komunitas gay ini. Bukan karena mereka tak mau menerima, tetapi membicarakan kesehatan seksual itu sensitif bagi siapa pun. Tapi demi kesehatan, ia tetap mencari beragam cara agar mereka terpapar informasi positif.
Intinya, saya sebagai penyuluh lapangan Gaya Dewata tak mau mempersulit. Solusi pasti ada. Saya bersedia mengantarkan mereka ke rumah sakit atau klinik untuk tes kesehatan. Dan, saya bahagia bisa berbagi pengalaman dan mengajak mereka agar hidup lebih sehat untuk waspada lebih awal
Ya, tentunya tidak bisa sehari, dua hari atau seminggu, mereka mau berdialog soal kesehatan terkait gaya hidup ini. Ia menceritakan pendekatan yang perlahan tapi pasti dan berusaha sesantun mungkin. Ada pula yang bersedia periksa tes HIV/Aids setelah melalui dialog berbulan-bulan.
“Intinya, saya sebagai penyuluh lapangan Gaya Dewata tak mau mempersulit. Solusi pasti ada. Saya bersedia mengantarkan mereka ke rumah sakit atau klinik untuk tes kesehatan. Dan, saya bahagia bisa berbagi pengalaman dan mengajak mereka agar hidup lebih sehat untuk waspada lebih awal,” tutur Firgi yang merantai ke Bali mulai 2011.
Ia lulusan SMK jurusan mesin di Bandung. Tapi ia frustasi mempertahankan kemampuannya di bidang perbengkelan. Ia jengah dengan pandangan orang ketika melamar pekerjaan, mereka sanksi dengan kemampuannya.
“Hanya karena gaya bicara saya katanya seperti perempuan. Saya sedih. Makanya, saya merantau ke Bali dan bekerja di salah satu restoran di Kuta. Pengalaman yang berharga di Bali ini dan membuat betah. Karena tak ada lagi saya harus menjelaskan ini dan itu dengan keadaan saya ini. Semua menerima apa adanya di Bali ini, siapa pun. Saya merasa lebih dihargai seperti keluarga saya di Bandung,” tutur Firgi.
Dinas Kesehatan Provinsi Bali mencatat kasus HIV/Aids di Bali, akumulasi dari tahun 1987-Desember 2018, sebanyak 20.470 orang. Usia produktif berdasarkan catatan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, terdata memiliki angka terbesar. Usia paling rentan (20 tahun -29 tahun) tercatat sebanyak 7.790 orang dan usia 30 tahun-39 tahun sebanyak 7.195 orang. Kelompok paling berisiko adalah heteroseks tercatat 15.671 orang.
Dinas Kesehatan Kota Denpasar menargetkan tahun ini tutas merangkul orang dengan HIV/Aids (ODHA) sebanyak 10.813 orang. Angka ini merupakan estimasi berdasarkan data tahun 2016 dan diharapkan terlayani seluruhnya.
Hingga bulan Maret 2019, sebanyak 10.317 orang tercatat mendapat pelayanan kesehatan di sejumlah puskesmas, klinik, serta rumah sakit di Kota Denpasar. Capaian ini bagian dari upaya menjangkau estimasi ODHA. Selanjutnya, Dinas Kesehatan bersama Komisi Penanggulangan Aids (KPA) dan komunitas terus memaksimalkan propaganda hidup dan berprilaku sehat.
Meskipun target terpenuhi tahun ini, lanjutnya, dinas bersama KPA serta komunitas tidak berhenti mendata. Alasannya, tren ODHA ini kenaikannya lima tahun terakhir tercatat 1.000 orang per tahun.
Bukan dari komunitas
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Denpasar dr IB Gede Eka Putra, di workshop HIV/Aids, di Hotel Bali Kepundung, Denpasar, Rabu (22/5/2019), menjelaskan berdasarkan data-data tersebut, ODHA datang dari masyarakat umum bukan dari komunitas. Komonitas guy, LGBT, atau sejenisnya semestinya tak lagi menjadi kambing hitam.
“Semua masyarakat harus membuka mata dan menyadari penyakit HIV/Aids ini bukan milik serta disebabkan atau ditularkan dari komunitas tertentu. Melainkan, penyakit ini bisa datang dari kelompok umum. Gaya hidup yang membuat orang terpapar atau adanya kesalahan atau kelalaian medis misalnya di kasus tertentu,” jelas Eka Putra.
Selain propaganda bukan komunitas tertentu penyebarnya, propaganda menghapuskan stigma HIV/Aids itu tidak ada obatnya juga terus digencarkan. Ini penyakit karena gaya hidup dan sudah ada obatnya. Bahkan, jika lebih peduli dan awal bersedia tes, antisipasinya dapat lebih makismal.
Semua masyarakat harus membuka mata dan menyadari penyakit HIV/Aids ini bukan milik serta disebabkan atau ditularkan dari komunitas tertentu. Melainkan, penyakit ini bisa datang dari kelompok umum. Gaya hidup yang membuat orang terpapar atau adanya kesalahan atau kelalaian medis misalnya di kasus tertentu
Target nasional tuntas HIV/Aids ini dari Kementerian Kesehatan adalah tahun 2030. “Propaganda HIV/Aids ini sama dengan penyakit seperti diabetes dan lainnya. Ini virus dan penularannya tidak bisa langsung dari orang ke orang tanpa hubungan tertentu. Dan, hal paling penting sudah ada obatnya dan sakitnya bisa dikelola terutama jika terditeksi dini,” jelas Eka.
Menyasar ibu hamil
Sekretaris Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Denpasar Tri Indarti menambahkan komisinya menyasar kepada ibu-ibu hamil. Mereka salah satu kelompok yang rentan bahayanya. Mulai 2016, ibu hamil sudah diwajibkan periksa atau tes HIV/Aids gratis. Beberapa kasus terkait stigma di masyarakat , ODHA itu menular, lanjutnya, semakin berkurang.
Sementara Direktur Yayasan Gaya Dewata Bali Christian Supriyadinata mengatakan penyuluh lapangan dari yayasannya terus bergerak. Pendampingan beberapa pasien, lanjutnya, juga dilakukan.
Menurutnya, tersebarnya informasi mengenai apa hingga bagaimana menanganinya ketika mendapatkan hasil positif itu dapat tertangani itu tersampaikan dengan benar kepada masyarakat. Dengan adanya informasi, harapannya, masyarakat memiliki kesadaran berprilaku hidup sehat dan bersedia secara mandiri periks ke layanan kesehatan yang tersedia, khsususnya di Kota Denpasar.
Para ODHA bukanlah monster yang harus ditakuti, mereka hanya sakit karena kekebalan tubuh hilang. Jadi bagaimana caranya agar masyarakat bisa membuka diri dengan mereka. Karena penyakit ini tak ada beda dengan penyakit berasal dari virus lainnya
Layanan kesehatan mengenai segala persoalan HIV/Aids tersedia gratis di 25 puskesmas, klinik, serta rumah sakit, termasuk pemeriksaan gratis. Selanjutnya, jika pemeriksaan hasilnya positif, pasien dapat dirujuk di dua rumah sakit, RSUD Wangaya dan RSUP Sanglah.
Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Bali Putri Suastini Koster dalam suatu acara Diskusi Publik “Mengintensifkan Upaya Mendapatkan Hak Asasi bagi Pengidap HIV/AIDS (ODHA)” dalam rangka Peringatan Malam Perenungan AIDS Nusantara (MRAN) di ruang rapat Praja Sabha, Denpasar, Kamis (23/5/2019), mengajak masyarakat untuk berhenti memberikan stigma negatif dan diskriminatif terhadap ODHA. Karena, menurut dia mereka mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lainnya sebagai warga negara.
“Para ODHA bukanlah monster yang harus ditakuti, mereka hanya sakit karena kekebalan tubuh hilang. Jadi bagaimana caranya agar masyarakat bisa membuka diri dengan mereka. Karena penyakit ini tak ada beda dengan penyakit berasal dari virus lainnya,” kata Suasatini Koster.
Ketika Firgi dan komunitas yang diperjuangkannya mulai sadar untuk berperilaku hidup sehat serta awal memeriksakan kesehatannya, mengapa kita tidak. Apa pun komunitasmu, dari mana asalmu, kata Firgi, Christian, Eka Putra, dan Tri Indarti, mereka siap membantu Anda secara terbuka maupun tertutup sekalipun. “Karena kesadaran untuk sehat itu hak dan milik Anda. Kami tidak bisa memaksa apa pun alasannya,” ujar Firgi.