Puluhan ekor gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) menyatroni ladang warga di tiga lokasi yang tersebar di habitat Minas, Giam Siak Kecil dan Taman Nasional Tesso Nilo. Satwa liar berbadan raksasa itu memakan tanaman warga dan merusak sebuah rumah kebun yang ditinggal pemiliknya saat mudik Lebaran.
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·5 menit baca
PEKANBARU, KOMPAS – Puluhan ekor gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) menyatroni ladang warga di tiga lokasi yang tersebar di habitat Minas, Giam Siak Kecil dan Taman Nasional Tesso Nilo. Satwa liar berbadan raksasa itu memakan tanaman warga dan merusak sebuah rumah kebun yang ditinggal pemiliknya saat mudik Lebaran.
Kompas yang mengikuti patroli mahout (pawang gajah) dari Pusat Latihan Gajah Minas, Siak, Riau pada Kamis (6/6/2019) malam, sempat bertemu langsung dengan sekumpulan gajah yang sedang bergerak di salah satu kebun warga di Kelurahan Agrowisata, Kecamatan Rumbai, Kota Pekanbaru. Kehadiran manusia di sekitarnya ternyata tidak membuat gajah itu takut.
Seekor gajah betina besar yang menjadi pemimpin rombongan justru tampak marah karena merasa terganggu. Gajah itu berlari mengejar mobil yang dinaiki Kompas. Lengkingan suaranya terdengar sangat keras dan menakutkan, tidak ada kejadian membahayakan pada malam itu.
“Sudah sepekan terakhir gajah-gajah berada disini. Jumlahnya 11 ekor maka kami sebut kelompok 11. Mereka berputar-putar di kebun warga di Kelurahan Maharatu dan Agrowisata. Setiap malam kami berupaya menggiring keluar kebun warga agar tidak terlalu merusak tanaman. Kerusakan tetap ada, namun lebih kecil,” kata Tutur Lestariono, Mahout PLG Minas pada Kamis malam.
Secara terpisah, Pelaksana Harian Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, Andri Hansen Siregar yang dihubungi Jumat (7/6/2019) menyebutkan, kehadiran gajah di ladang warga, bukan hanya di kantong Minas. Di Kecamatan Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, sekelompok gajah berjumlah delapan ekor juga mendatangi kebun warga yang kebanyakan kosong karena ditinggal penjaganya mudik. Sampai saat ini, tim BBKSDA Riau masih berupaya menggiring gajah tersebut menuju habitat besarnya di Taman Nasional Tesso Nilo.
“Pada saat seperti sekarang ini, aktivitas gajah mendatangi ladang warga semakin tinggi. Di ladang yang tidak dijaga, gajah memakan tanaman dengan leluasa. Dengan kondisi seperti itu, petugas kami di lapangan semakin sibuk menggiring gajah agar tidak semakin merusak. Kami berkoordinasi dengan polisi dan TNI di Kecamatan Peranap dan Kelayang yang wilayahnya didatangi gajah. Kami berharap tidak ada korban di kedua belah pihak, manusia ataupun gajahnya,” kata Andri.
Menyantroni ladang
Andri menambahkan, gajah yang menyatroni ladang warga di Peranap sudah keluar dari TNTN sebulan lalu. Jangkauan jelajahnya semakin jauh karena akasia dari sebuah perusahaan hutan tanaman industri yang berada di tepi TNTN sedang dipanen. Areal yang kosong membuat gajah itu berjalan lebih jauh dalam satu hari.
“Kami cukup kesulitan menggiring gajah itu kembali ke habitatnya karena lokasi mereka terjepit di pemukiman penduduk. Ketika kami giring melewati satu desa, penduduk disana marah karena gajah memakan tanamannya. Akhirnya gajah itu berbalik lagi. Kami terpaksa harus mencari jalan lain dan waktunya semakin lama,” kata Andri.
Makmun (42), seorang petani asal Lubuk Umbut, Kecamatan Sungai Mandau, Siak, pada Kamis petang mengatakan, sudah tiga hari terakhir, termasuk pada malam takbiran, ia bersama puluhan warga berjaga di ladang untuk mengusir kedatangan gajah. Gajah tersebut berjumlah enam ekor dan berasal dari kantong Giam Siak Kecil.
“Kebun kami memang belum dimasuki, namun tanaman tetangga di seberang desa sudah dimakan gajah. Kami harus mengantisipasi dan berjaga. Kalau ladang kosong, mereka pasti datang merusak. Gajah tidak mengenal batas desa. Dalam satu malam, gajah dapat berjalan melewati satu kecamatan. Saya sudah meminta kepada petani yang memiliki tanaman sawit kecil tidak pulang kampung dulu selama lebaran,” kata Makmun yang ditemui saat bertamu ke rumah Tutur.
Kami cukup kesulitan menggiring gajah itu kembali ke habitatnya karena lokasi mereka terjepit di pemukiman penduduk. Ketika kami giring melewati satu desa, penduduk disana marah karena gajah memakan tanamannya. Akhirnya gajah itu berbalik lagi. Kami terpaksa harus mencari jalan lain dan waktunya semakin lama
Tutur menuturkan, kelompok gajah di kantong Minas pada tahun 2004 masih berjumlah berjumlah 25 ekor. Namun dalam tempo 15 tahun, jumlahnya menciut menjadi 11 ekor. Kelompok 11 ini memiliki jalur jelajah melintasi 3 kabupaten/kota, yaitu Siak, Kota Pekanbaru dan Kampar. Kantong Minas berada di perbatasan tiga wilayah tersebut.
Dari Minas, kelompok gajah memiliki alur jelajah melewati kawasan Taman Hutan Raya di Rumbai, Kelurahan Palas, Maharatu dan Agrowisata di Kota Pekanbaru. Gajah itu kemudian berenang menyeberangi Sungai Siak untuk menuju kawasan Garuda Sakti, Kota Galuh di Kabupaten Kampar.
Dulunya jalur jelajah itu diputari selama satu tahun. Misalnya gajah berangkat dari Minas pada Januari, maka mereka akan kembali lagi ke Minas pada Desember. Begitu seterusnya.
Ĺ
“Sekarang, jelajah gajah-gajah itu semakin pendek. Hutannya semakin mengecil dan berubah menjadi kebun dan pemukiman warga. Daerah jejalah yang dulunya diputari selama setahun kini menjadi satu bulan. Artinya, kalau sekarang gajah ada di Minas, maka bulan depan mereka akan nampak kembali di Minas. Begitu juga di tempat lain di koridornya. Frekuensi bertemu manusia di ladang semakin tinggi,” kata Tutur.
Penampakan kerusakan gajah di Kelurahan Maharatu dan Agrowisata Kota Pekanbaru selama sepekan terakhir masih terlihat. Di kebun Yogi, warga Kelurahan Maharatu masih terlihat sisa-sisa pohon pisang yang roboh dimakan gajah.
Sekitar dua kilometer dari kebun Yogi, sebuah rumah di tengah ladang sawit yang sudah besar sempat dirusak gajah. Menurut Tutur, kawanan itu merusak dinding dapur yang terbuat dari kayu untuk mengambil beras, garam dan gula. Namun saat Kompas datang ke rumah ladang itu, bangunan dinding dapur yang dirusak gajah sudah diperbaiki dan ditutup dengan seng oleh pemiliknya.
Hampir setiap pekan kami menerima laporan warga tentang kehadiran gajah di dekat ladangnya. Namun pemilik atau penjaga ladang mengawasi, sehingga gajahnya dapat diusir, misalnya dengan bunyi petasan atau membuat api di ladang. Namun mendekati lebaran, aktivitas manusia di ladang berkurang sebaliknya aktivitas gajah yang semakin tinggi
“Gajah itu suka bahan makanan manusia, terutama garam, beras dan gula. Kalau tidak ada penghuninya, mereka tahu dan mendatangi rumah itu,” kata Tutur.
Tidak jauh dari rumah yang dirusak, terdapat kerusakan cukup parah di ladang pepaya milik seorang pejabat Kelurahan Agrowisata. Sistem pipanisasi air yang dibangun pemiliknya sebagian besar hancur dipijak gajah. Sebuah rangkaian besi bangunan rumah kasa (untuk tanaman sayuran) dirusak.
Tanda-tanda kehadiran gajah terlihat dimana-mana. Sisa makanan, kotoran dan jejak kaki berada di banyak tempat dalam satu hamparan yang luas.
“Hampir setiap pekan kami menerima laporan warga tentang kehadiran gajah di dekat ladangnya. Namun pemilik atau penjaga ladang mengawasi, sehingga gajahnya dapat diusir, misalnya dengan bunyi petasan atau membuat api di ladang. Namun mendekati lebaran, aktivitas manusia di ladang berkurang sebaliknya aktivitas gajah yang semakin tinggi,” kata Tutur.
Riau merupakan salah satu kantong gajah terbesar di Sumatera. Menurut Kepala BBKSDA Riau, Suharyono, sampai saat ini Riau masih memiliki lebih dari 200 ekor gajah.
Kantong terbesar berada di TNTN sebanyak 150 ekor, disusul Giam Siak Kecil (50 ekor), Minas (11 ekor) dan Balai Raja (6 ekor). Sisanya tersebar dalam jumlah lebih kecil di beberapa wilayah lain.