DENPASAR, KOMPAS Permintaan untuk ekspor kakao dari Bali tak terpenuhi. Dari permintaan 15 ton per minggu, hanya sanggup dipenuhi 2 ton per minggunya.
Tingginya minat pasar dikarenakan kakao Bali berasal dari perkebunan organik yang diolah melalui proses fermentasi. Harga pasaran kakao Bali sekitar Rp 60.000 per kilogram. ”Sulitnya kebun Bali memenuhi permintaan pasar karena keterbatasan sarana fermentasi kakao. Kemampuan anggaran pemerintah provinsi sangat terbatas untuk pengadaan sarana fermentasi,” kata Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Tanaman Hortikultura dan Perkebunan Bali Lanang Haryawan, Kamis (6/6/2019).
Sarana fermentasi itu dibutuhkan petani. Satu kotak sarana fermentasi memuat 40 kg kakao. Dari 100 hektar kebun menghasilkan 600 kg kakao yang membutuhkan 1.500 kotak alat fermentasi. Harga satu kotak alat fermentasi diperkirakan Rp 500.000.
Menurut Lanang, jumlah kotak itu belum sanggup dipenuhi dari anggaran provinsi. Ia berharap ada calon investor yang tertarik, khususnya mengadakan sarana fermentasi. ”Kakao yang sudah melalui proses fermentasi memiliki nilai jual lebih tinggi di pasaran dunia,” ujar Lanang.
Selain alat fermentasi, permintaan pasar akan dijawab dengan menggenjot produksi, salah satunya dengan perawatan kebun agar biji kakao yang dihasilkan lebih besar.
Saat ini, dari 300 kg kakao menghasilkan 100 kg kakao hasil fermentasi. Dengan biji yang lebih besar, diharapkan rasionya menjadi 200 kg kakao panen untuk 100 kg kakao fermentasi.
Dengan begitu, pemenuhan pasar ekspor bisa diperbesar, setidaknya menjadi sekitar 8 ton per minggu. Produksi kakao Bali pada 2017 tercatat 4.962 ton, turun dari tahun 2016 yang sebanyak 6.204 ton. Kontribusi terbesar di Kabupaten Jembrana sebagai pusat kakao di Bali, yaitu 2.688 ton pada 2017. Lalu Kabupaten Tabanan sebanyak 866 ton.
Pemilik CAU Chocolates di Tabanan, I Wayan Alit Artha, mengatakan, kandungan lemak kakao Bali lebih tinggi daripada kakao lain di Indonesia, yang bagus untuk industri.(AYS)