Pernah mendengar nama tengkuyung? Sulcospira testudinaria alias siput sungai ini mulanya sumber pangan komunitas Orang Rimba di Bukit Duabelas, Jambi, tetapi belakangan dilirik para pengelana kuliner olahan.
Elvidayanti (40)—biasa dipanggil Fia—menyiapkan satu bungkusan berisi beras, minyak goreng, tepung, dan gula. Bahan-bahan itu dititipkan kepada temannya yang hendak menyambangi hunian Orang Rimba di wilayah Air Hitam, Sarolangun. Sesampainya di sana, bahan makanan diberikan kepada Sepintak, pemuda setempat. Sebagai gantinya, Sepintak menitipkan tengkuyung. ”Ini pesanan Kak Fia,” ujarnya. Wadah itu berisi hampir 10 kilogram tengkuyung.
Hingga tahun lalu, Fia berprofesi sebagai penyiar radio. Ia menetap di tepi hutan Bukit Duabelas untuk mendampingi anak-anak rimba menjadi calon penyiar radio Benor, yakni radio komunitas Orang Rimba.
Tak jarang ia mengikuti kebiasaan anak-anak bermain di sungai sembari mengumpulkan tengkuyung. ”Biasanya tengkuyung mereka olah sederhana saja, yakni direbus, langsung dimakan,” katanya.
Masalah kesehatan memaksa Fia meninggalkan Bukit Duabelas. Ia berhenti dari dunia siaran radio, lalu merintis usaha warung makan di Pasar Angso Duo Baru, Kota Jambi.
Meski tak lagi menjalani keseharian di tengah rimba, kecintaan pada kuliner dan kehidupan rimba masih dirasakan. Setiap kali ada kenalan hendak berkunjung ke Air Hitam, Fia akan langsung memesan tengkuyung lewat Sepintak. Selanjutnya, oleh Sepintak, tengkuyung dititipkan untuk dibawa ke Jambi. ”Tengkuyung dibarter dengan beberapa jenis bahan makanan yang dibutuhkan Orang Rimba,” ujar Fia.
Di warung makan miliknya yang diberi nama DR, tengkuyung diolah sebagai masakan modern. Salah satunya gulai tengkuyung yang menjadi kegemaran pengunjung setempat. Terkadang ia mengolahnya menjadi masakan rica-rica, sop, ataupun kuah bumbu kuning. Harus diakuinya, pasokan tengkuyung tidak bisa rutin. Tidak selalu anak-anak Orang Rimba turun ke sungai untuk mengumpulkan tengkuyung. Ada kalanya mereka harus berburu babi jauh dari tempatnya.
Kondisi medan yang cukup berat menuju Bukit Duabelas juga menjadi tantangan mendapatkan pasokan tengkuyung. Dari Air Hitam ke Kota Jambi yang berjarak sekitar 200 kilometer dibutuhkan waktu tempuh lima hingga enam jam.
Proses olahan
Tengkuyung merupakan jenis siput air tawar bercangkang dengan warna hitam kecoklatan. Bentuk cangkangnya mengerucut panjang rata-rata 2 sentimeter. Jenis ini banyak hidup pada sungai-sungai di Jawa dan Sumatera.
Agar lebih nikmat disantap, tengkuyung melewati sejumlah proses. Tengkuyung dicuci dengan pelepah pisang yang diaduk dalam ember berisi air. Hal itu seperti proses mengeluarkan racun atau kotoran.
Setelah itu, ekor cangkang dipotong. Tujuannya agar mudah diisap dagingnya di balik cangkang. Pemotongan itu sebenarnya agak merepotkan. Bisa dibayangkan banyaknya cangkang itu harus dipotong satu demi satu. Namun, baginya, yang terpenting adalah kepuasan pelanggan.
Bagi pencinta kuliner, menikmati tengkuyung adalah sensasi mengisap daging lunaknya dari cangkang. Sebagian orang dapat cekatan mengisap, lainnya perlu sedikit meniup dari ujung cangkang agar dagingnya terdorong, barulah diisap. Lainnya lagi memilih mencungkil daging dalam cangkang dengan bantuan lidi atau tusuk gigi.
Sumber pangan
Selain tengkuyung, hulu-hulu sungai di Bukit Duabelas juga menyediakan beragam jenis ikan sebagai sumber pangan. Di masa lalu, menombak ikan merupakan tradisi mata pencarian komunitas itu. Kebiasaan berburu masih kerap ditemui hingga kini.
Itu sesuai dengan aturan dalam adat setempat, yakni agar menikmati santapan hasil buruan, bukan hasil dari beternak. Orang Rimba pun mengenal istilah ”berkambing kijang, berkerbau tenu, bersapi ruso” yang memiliki pengertian sasaran hasil berburu seperti kijang, tenu (kancil hutan), dan rusa.
Selain berburu, mereka juga lekat dengan cara hidup bergantung pada alam. Orang Rimba menikmati buah-buahan di hutan dan mengonsumsi langsung air sungai yang diambil dengan bonggol kayu.
Salah satu pimpinan adat Orang Rimba, Tumenggung Tarib, mengatakan, identitas mereka yang tertuang lewat seloko secara tegas membedakan masyarakat desa sekitar yang mereka sebut sebagai ”orang terang”.
Mereka pun membuat seloka tentang orang desa, ”Berpinang gayur, berumah tango, berdusun beralaman, beternak angso,” katanya.
Seloka itu, orang desa hidup dengan menanam pinang, menetap di desa, memiliki rumah dan pekarangan, serta berternak. (Irma Tambunan)