Kemajemukan Mesti Dipandang sebagai Kekayaan Bangsa
Persatuan bangsa setelah pemilihan umum terus digaungkan di berbagai penjuru Nusantara. Kemajemukan suku, agama, ras, serta pilihan politik di Indonesia harus dianggap sebagai suatu kewajaran dan kekayaan bangsa. Beberapa daerah di Sulawesi Utara, seperti Kota Tomohon dan Kabupaten Talaud, bisa menjadi contoh dalam merawat persatuan dalam perbedaan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
TOMOHON, KOMPAS — Persatuan bangsa setelah pemilihan umum terus digaungkan di berbagai penjuru Nusantara. Kemajemukan suku, agama, ras, serta pilihan politik di Indonesia harus dianggap sebagai suatu kewajaran dan kekayaan bangsa. Beberapa daerah di Sulawesi Utara, seperti Kota Tomohon dan Kabupaten Talaud, bisa menjadi contoh dalam merawat persatuan dalam perbedaan.
Gagasan ini mengemuka dalam diskusi kebangsaan ”Kemajemukan di Tengah Perbedaan” yang digelar Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Efrata Kamasi, Kamasi Satu, Tomohon, Sabtu (15/6/2019). Diskusi ini dipandu wartawan senior harian Kompas, Sonya Hellen Sinombor.
Hadir sebagai pembicara Bupati Kepulauan Talaud terpilih, Elly Lasut; Sekretaris Kota Tomohon Harold Lolowang; Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Henriette Lebang; dan pengajar Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi, Ferry Liando. Keempat pembicara sepakat, persatuan bangsa dapat dijaga saat semua elemen bangsa sepakat untuk tidak mempermasalahkan perbedaan.
Elly mengatakan, kemenangannya di Kabupaten Kepulauan Talaud pada Pilkada 2018 merupakan contoh bahwa perbedaan ras tidak menjadi halangan dalam memberikan kepercayaan politik. Nilai-nilai universal, seperti kejujuran dan ketulusan dalam melayani, dapat mengikat manusia melampaui sekat-sekat perbedaan.
”Saya orang Minahasa dengan kulit putih, sementara orang Talaud berkulit gelap. Mereka bisa bilang, ’Mengapa Anda mengambil kekuasaan dari bangsa kami’? Tetapi, selama seseorang bisa menyebar sukacita, kejujuran, dan ketulusan, pasti kita bisa bersatu,” kata Elly yang juga memegang jabatan yang sama pada 2004-2012.
Menurut dia, perbedaan adalah hakikat manusia yang tidak dapat dihilangkan. Memaksakan orang lain untuk menerima kebiasaan, kepercayaan, dan pilihan politik kepada orang lain malah dapat menyebabkan perpecahan. Karena itu, setiap warga negara Indonesia diajak untuk mengamalkan nilai-nilai universal kemanusiaan dalam hidup sehari-hari.
Sementara itu, Harold mengatakan, Tomohon telah menjadi contoh konkret kerukunan umat beragama di Nusantara. Ia menilai, penganugerahan Harmony Award dari Kementerian Agama pada 2017 merupakan bukti nyata.
”Tomohon adalah ibu kotanya GMIM. Di sisi lain, ada juga komunitas Muslim yang datang dari Jawa. Mereka sudah tinggal di sini sejak 1791. Perbedaan memang bisa menjadi pemecah belah, namun akan menjadi kekayaan jika dirawat bersama dan dijadikan sebagai aspek masyarakat yang menggembirakan,” katanya.
Menurut Harold, masyarakat yang beragam bisa menciptakan kerukunan sebagaimana ditunjukkan oleh komunitas Kristen dan Muslim. Namun, pemerintah bertugas menjadi ”panglima” penjaga kerukunan.
Masyarakat yang beragam bisa menciptakan kerukunan sebagaimana ditunjukkan oleh komunitas Kristen dan Muslim. Namun, pemerintah bertugas menjadi ”panglima” penjaga kerukunan.
Sejauh ini, Pemerintah Kota Tomohon mengupayakannya dengan pendekatan kepada kelompok-kelompok seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Badan Kerja Sama Antar-Umat Beragama (BKSAUA). ”Misalnya, kami mengadakan perjalanan ke Jerusalem bersama-sama untuk saling belajar. Ke depan, apa yang kami upayakan bisa disampaikan para pemuka agama kepada umat di rumah ibadah masing-masing,” kata Harold.
Adapun Henriette mengatakan, gereja punya peran penting dalam merawat kerukunan dalam keberagaman. Setiap pendeta harus mampu mengenali umat serta lingkungan di sekitarnya. Perbedaan komunitas yang dipimpinnya dengan komunitas lain pun harus dilihat sebagai kekayaan ketimbang ancaman.
”Kemajemukan adalah kekayaan dan anugerah dari Tuhan. Kalau kita mempermasalahkannya, akan tumbuh prasangka buruk dan stigma yang bisa memecah belah. Pancasila yang kita pegang bersama seharusnya tidak hanya menjadi semboyan, tetapi juga menjadi rumah bersama bagi bangsa Indonesia,” tuturnya.
Lulus ujian
Ferry mengatakan, perpecahan bangsa timbul karena ada yang mempermasalahkan perbedaan. Masyarakat harus waspada terhadap berbagai pihak yang memiliki kepentingan untuk memecah belah bangsa, sebagaimana terungkap setelah kerusuhan pada 21-22 Mei 2019 untuk memprotes hasil pemilihan presiden.
Menurut dia, beberapa pihak yang sedang diperiksa oleh kepolisian karena tuduhan makar memanfaatkan perbedaan agama dan pilihan politik untuk memecah persatuan. ”Beberapa pihak melakukannya karena iri hati akibat tidak pernah mendapatkan jabatan seperti rekan-rekan sejawatnya. Karena itu, kita harus berhati-hati pada kelompok yang ingin memanfaatkan perbedaan kita untuk kepentingan pribadinya,” katanya.
Dia menilai, persatuan dan demokrasi Indonesia telah melewati berbagai ujian, seperti kolonialisme, separatisme, dan terorisme. Ia mencontohkan, Indonesia diuji setelah Agresi Militer Belanda I tahun 1947. Pembentukan enam negara boneka di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) tidak membuyarkan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Separatisme akibat pemilihan umum pun tidak pernah terjadi meskipun tumbuh beberapa gerakan. ”Kita berbeda dengan Yugoslavia yang sampai bubar pada 1991 karena negara-negara bagian tidak sepakat dengan hasil pemilu,” ujarnya.
Di samping itu, tidak ada kelompok teroris yang bisa memecah NKRI. Persatuan bangsa Indonesia dinilainya lebih kuat ketimbang di Suriah dan Irak yang terus berkonflik karena keberadaan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).