Riset terhadap pembuatan mobil listrik perlu terus didorong. Hal itu menjadi penting mengingat pengembangan mobil listrik itu sudah mulai dilakukan negara-negara lain. Kerja sama dengan dunia industri juga harus dijalin agar hasil riset dapat dimanfaatkan masyarakat setelah diubah menjadi produk dan dikomersialisasikan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Riset terhadap pembuatan mobil listrik perlu terus didorong. Hal itu menjadi penting mengingat pengembangan mobil listrik itu sudah mulai dilakukan negara-negara lain. Kerja sama dengan dunia industri juga harus dijalin agar hasil riset dapat dimanfaatkan masyarakat setelah diubah menjadi produk dan dikomersialisasikan.
Hal itu disampaikan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir setelah menghadiri pergelaran wayang dan peluncuran mobil listrik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) di Halaman Rektorat UNY, Yogyakarta, Jumat (21/6/2019) malam.
”Ke depan, mobil listrik adalah mobil masa depan. Itu adalah mobil yang ramah lingkungan. Green economy harus kita kembangkan. Hemat energi harus kita lakukan dan menghindari polusi udara,” kata Nasir.
Nasir mengharapkan pada 2025 Indonesia sudah bisa membuat mobil listrik sendiri yang dapat diperjualbelikan secara luas. Itu karena negara-negara lain telah lebih dulu mulai mengembangkan teknologi tersebut. Indonesia harus bergerak cepat agar tidak tertinggal.
Selain itu, Nasir menambahkan, kolaborasi antara perguruan tinggi dan dunia industri mempercepat langkah mobil listrik agar diproduksi massal. Persoalan suku cadang dapat tertangani dengan adanya kolaborasi itu. Keterbatasan dari perguruan tinggi tidak akan jadi alasan untuk menghasilkan inovasi tersebut.
Adapun permasalahan yang dinilai masih menyulitkan produksi mobil listrik itu berupa baterai. Komponen tersebut menyumbang 30-35 persen dari total biaya pembuatan. ”Maka, ini bagaimana caranya riset di bidang baterai berjalan terus,” kata Nasir.
Ke depan, mobil listrik adalah mobil masa depan. Itu adalah mobil yang ramah lingkungan. Green economy harus kita kembangkan. Hemat energi harus kita lakukan dan menghindari polusi udara.
Nasir mengatakan, di Halmahera, Maluku Utara, pihaknya sedang melakukan penelitian dan pengembangan baterai litium. Selain itu, ada riset lainnya, yakni pelat nikel, di Morowali, Sulawesi Tengah. Kedua riset itu diyakini mampu mendorong pembuatan mobil listrik karya anak bangsa mengingat salah satu komponen utama dihasilkan di Indonesia.
”Ini sedang dalam proses membuat fabrikasi. Targetnya, 2021-2022 mulai berproduksi,” kata Nasir.
Nasir menambahkan, komitmen dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dalam mendukung penciptaan mobil listrik itu dengan memberikan anggaran riset sebesar Rp 100 miliar tiap tahun.
Konsorsium perguruan tinggi
Konsorsium perguruan tinggi yang merencanakan peta jalan mobil listrik nasional juga sudah dibuat. Konsorsium itu terdiri dari Universitas Indonesia, Institut Tekonologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sebelas Maret, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Lalu, insentif bagi dunia industri yang mau ikut mengembangkan mobil listrik juga akan diberikan. Insentif itu berupa pengurangan pajak yang berlipat. Biaya pajak bisa diarahkan kepada pengembangan teknologi tersebut.
”Produsen pasti swasta. Ini yang penting bagaimana insentif bisa diberikan kepada industri,” kata Nasir.
Sementara itu, Ketua Tim Mobil Listrik Garuda UNY Ade Herlambang menjelaskan, mobil listrik yang diluncurkan di UNY, Jumat malam itu, merupakan rintisan mobil listrik pertama dari UNY. Mobil itu mulai digarap sejak April 2018 dan selesai pada Mei 2019. Proyek itu terdiri dari 20 orang yang berasal dari Fakultas Teknik UNY.
”Materialnya 90 persen dari dalam negeri. Itu berupa material untuk rangka dan bodi. Sementara itu, motor listrik dan controller-nya, kami masih harus mengimpor,” kata Ade.
Ade menjelaskan, mobil rintisan pertama itu bertipe city car. Sejauh ini, mobil itu baru bisa dioperasikan selama 2 jam atau setara dengan menempuh jarak sejauh 60 km. Adapun kecepatan maksimalnya 70 km per jam. Mobil juga baru bisa dengan 2 penumpang.
Materialnya 90 persen dari dalam negeri. Itu berupa material untuk rangka dan bodi. Sementara itu, motor listrik dan controller-nya, kami masih harus mengimpor.
”Harapannya, kami ke depan bisa terus mengembangkan lagi. Kami akan lebih bersyukur lagi jika dihubungkan dengan dunia industri. Hal itu bisa membantu pengembangan teknologi ini,” ujar Ade.