Jutaan Benur Lobster Diselundupkan
Lima tahun terakhir, jutaan benur lobster diselundupkan ke luar negeri. Dalam kurun 2014 - April 2019, penyelundupan 7,5 juta ekor benur lobster senilai Rp 1 triliun bisa digagalkan.
Kekayaan laut Indonesia tak pernah berhenti dikuras penjahat. Memanfaatkan pengepul dan penangkap benur, para penyelundup membawa benur atau benih lobster (panulirus sp) dari laut Nusantara ke luar negeri melalui pelabuhan tikus di pesisir Sumatera bagian Timur.
Investigasi Kompas selama Mei – Juni 2019 mengungkap, keterlibatan penyelundup sudah tampak sejak awal, dari mulai benur lobster ditangkap di laut. Benur ditangkap di perairan berkarang tempat habitat lobster. Area itu tersebar di sepanjang Samudera Indonesia, mulai dari pesisir barat Sumatera, selatan Jawa hingga Nusa Tenggara, dan Sulawesi.
Salah satu desa yang dihuni penangkap dan pengepul benur adalah Desa Cikahuripan, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penelusuran di Cikahuripan mengungkap, meski penyelundupan berkali-kali digagalkan, namun praktik ilegal ini tetap marak. Sementara, meski terlarang, penangkapan benur seperti di Pantai Binuangeun, Banten, dibiarkan aparat. Padahal setiap hari ada sekitar 1.000 bagan dioperasikan untuk menangkap benur di sekitar pantai itu.
Pengepul benur juga bebas beroperasi. Padahal mereka adalah kaki tangan jaringan penyelundup.
BE (53), kerabat salah satu pengepul benih lobster di Cikahuripan mengungkapkan, pengepul selalu berkomunikasi dengan bandar setiap kali akan mengirim benur. Bandar yang dimaksud BE merupakan warga negara asing.
Sebelum benur diselundupkan ke luar negeri melalui Sumatera, benur disegarkan kembali di Jakarta. “Sebelum dikirim, baby lobster itu digas (dikasih oksigen atau O2) dulu, biar enggak mati,” tutur BE.
Tak Tersentuh
Menurut BE, ada empat pengepul besarnya di desanya yang tak pernah tersentuh aparat penegak hukum. Mereka adalah JD, BB, AI atau AF, dan IB. Dari keempatnya, JD merupakan pengepul yang kerap memberikan pinjaman modal kepada penangkap benur.
Sementara, BB merupakan pengepul yang tengah diintai Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM-KKP).
Pengepul berperan mendorong warga dan nelayan menangkap benur dalam jumlah besar. Pengepul membeli benur dengan harga tinggi. Satu ekor benur lobster pasir (panulirus homarus), di beli seharga Rp 7.000, dan benur lobster mutiara (panulirus ornatus) seharga Rp 40.000. Sekali menjaring, penangkap benur mendapatkan setidaknya 100—1.000 ekor.
Aktivitas awal penyelundupan ini jarang tersentuh penegak hukum. Demikian juga ketika benur sudah diselundupkan melalui perairan laut.
Keterlibatan aparat dalam penyelundupan benur lobster diungkapkan Panglima Komando Armada I TNI Angkatan Laut, Laksamana Muda Yudo Margono. Menurut dia, Armada I sempat gagal menangkap pengepul benur di perairan Bengkulu. Setelah diselidiki, menurut Yudo, ada anggota TNI AL yang membocorkan operasi penertiban ke pengepul.
Keterlibatan aparat dalam penyelundupan benur lobster diungkapkan Panglima Komando Armada I TNI Angkatan Laut, Laksamana Muda Yudo Margono.
“Dia sudah dibayar para preman dan pengepul sehingga setiap ada aparat masuk, dia yang memberi tahu. Kalau murni preman, tak mungkin sekuat itu. Pasti ada aparat,” jelasnya
Jambi
Dalam peta penyelundupan benur lobster, Jambi merupakan jalur favorit menyelundupkan benur ke luar negeri. Benur yang ditangkap di Jawa dibawa menuju Jambi.
Direktur Direktorat Polisi Air dan Udara (Dirpolairud) Polda Jambi, Komisaris Besar Fauzi Bakti mengungkapkan, Jambi memiliki banyak pelabuhan tikus di pesisir timur. “Dari pelabuhan-pelabuhan tikus itu, penyelundup mengirimkan benur ke perairan Batam, kemudian ke luar negeri dalam sekali perjalanan tanpa transit,” jelasnya.
Fauzi menuturkan penyelundupan benur mirip dengan narkoba. Distribusinya terputus. Penyelundup di Jambi tak kenal dengan mereka yang menyelundupkan benur ke luar negeri. "Dia hanya diberikan ciri-ciri warna speed boat (kapal cepat), dan identitas orangnya. Setelah menyerahkan baby lobster, dia balik,” jelas Fauzi.
Tak mudah menggagalkan penyelundupan. Benur yang diselundupkan ke luar negeri diangkut dengan kapal bertenaga 800 hingga 1000 PK. Kecepatannya mencapai 50 knot atau 92 kilometer per jam. Sementara TNI AL tak memiliki kapal cepat dengan kekuatan setara. Yudo menyatakan, TNI AL hanya bisa menindak tegas dengan tembak di tempat. “High speed itu kalau sudah melaju nyaris berdiri tegak karena saking kencangnya,” jelasnya.
Baca juga : Mengintai Penyelundupan Benih Lobster
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menjelaskan, harga benih lobster selundupan melonjak drastis karena kinerja industri lobster Vietnam turun drastis akibat anjloknya pasokan benur dan lobster dari Indonesia seiring kebijakan keras pemerintah Indonesia memberantas penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai aturan (illegal, unreported, unregulated/IUU fishing).
Untuk menyelamatkan industri lobsternya, pelaku usaha lobster Vietnam akhirnya berani membeli benur dengan harga tinggi.
Dilarang
Vietnam makin kesulitan mencari benur karena negara-negara lain juga melarang penangkapan dan perdagangan benur. Australia, Honduras, Nikaragua, Inggris, Skotlandia, bahkan telah menerapkan aturan tersebut jauh sebelum Indonesia.
Menurut Susi, di Vietnam, benur-benur tersebut dibesarkan untuk mencapai ukuran konsumsi. Cara pembesaran dipilih Vietnam karena mereka tak bisa lagi mendapatkan lobster-lobster besar di perairan mereka akibat penangkapan berlebih (overfishing) oleh para nelayannya. “Hingga kini, lobster belum bisa dipijahkan oleh manusia sehingga untuk pembesaran, benihnya tetap harus diambil dari alam,” kata Susi.
Di sisi lain, sejak Susi gencar memberantas IUU fishing, ekosistem perairan Indonesia kembali subur untuk berkembangnya ikan termasuk lobster. “Para nelayan dengan mudah masih bisa menangkap lobster-lobster besar di perairan nusantara tanpa perlu membesarkannya di karamba atau jaring apung,” katanya.
Pada kondisi normal, bagi nelayan, menangkap lobster ukuran konsumsi sebenarnya lebih menguntungkan ketimbang membesarkan benur yang membutuhkan waktu dan biaya pakan cukup besar. Selain itu, populasi lobster di perairan tetap terjaga sehingga nelayan bisa menikmati lobster secara lestari dalam jangka panjang.
Sebaliknya, menurut Susi, jika yang ditangkap adalah ukuran benur dan eksploitasinya dilakukan secara massif dan terus menerus, maka populasi lobster di perairan Indonesia akan berkurang drastis bahkan bisa habis sama sekali. Bila ini terjadi, nelayan dan masyarakat Indonesia sendirilah yang akan merugi.
Baca juga : Lobster Bisa Punah
Dalam konteks menjaga plasma nutfah dan populasi lobster demi lestarinya mata pencaharian nelayan inilah, Susi menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 56 tahun 2016, yang merupakan bagian dari upaya pemberantasan IUU fishing yang berbasis pilar kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan.
Jika yang ditangkap adalah ukuran benur dan eksploitasinya dilakukan secara massif dan terus menerus, maka populasi lobster di perairan Indonesia akan berkurang drastis bahkan bisa habis sama sekali
Permen KP 56/2016 melarang penangkapan dan pengeluaran atau perdagangan lobster ukuran di bawah 200 gr per ekor. Benih lobster yang diselundupkan umumnya berukuran 0,5 gr/ekor.
Pada 2015 atau sebelum Permen KP 56/2016 diterbitkan, ekspor lobster Vietnam berdasarkan data Trade Map mencapai 11,3 juta dollar AS (setara Rp 159,6 miliar). Sementara Indonesia hanya 7,1 juta dollar AS (setara Rp 100,3 miliar).
Namun pada 2017 atau setelah Permen KP 56/2016 berlaku, ekspor lobster Indonesia melonjak jadi 28,4 juta dollar AS (setara Rp 401,2 miliar), sementara Vietnam anjlok menjadi hanya 4,2 juta dollar AS (setara Rp 59,3 miliar).
Susi pun mengaku sangat geram dengan penyelundupan benur lobster yang terus terjadi. Lebih frustrasi lagi karena ditemukan ada saja oknum aparat yang terlibat dalam penyelundupan itu.
“Nasib keberlanjutan lobster tergantung pemahaman semua pihak, kesatuan sikap, dan ketegasan dari semua instansi penegak hukum. Kalau kondisinya masih seperti ini, pada akhirnya lobster kita akan habis,” jelasnya.
Kepala BKIPM KKP, Rina, menambahkan, sejak diterbitkannya Permen KP 56/2016, Vietnam samgat kekurangan pasokan benur lobster, sementara produksi lobsternya bertumpu pada usaha pembesaran lobster. Saking membutuhkannya, ada pengepul besar Vietnam yang mendatangi beberapa perkampungan nelayan di Sulawesi untuk memperoleh pasokan benur itu.
“Orang Vietnam itu ada yang datang ke Kolaka, Kendari, deal dengan siapa pun (untuk memperoleh benur lobster). Datang juga ke Palabuhanratu (mencari benur lobster). Sampai seperti itu mereka mencari (benur lobster),” katanya.