Kayu jati memiliki nilai ekonomis yang tinggi di kalangan masyarakat, tetapi kepedulian terhadap lingkungan kurang, termasuk mengantisipasi terjadinya kebakaran di sekitar lahan jati.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebagian kawasan hutan jati di daratan Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, memasuki pertengahan musim kemarau ini tampak mulai meranggas. Kayu jati memiliki nilai ekonomis yang tinggi di kalangan masyarakat, tetapi kepedulian terhadap lingkungan kurang, termasuk mengantisipasi terjadinya kebakaran di sekitar lahan jati.
Pengamatan di wilayah pinggiran Kota Kupang, Minggu (23/6/2019), sebagian wilayah hutan jati perlahan mulai meranggas, kering. Hal ini terjadi sebagai upaya dari tanaman ini untuk menghindari penguapan berlebihan agar bisa mempertahankan hidup. Sifat meranggas hutan jati di daerah ini berlangsung setiap tahun, saat musim kemarau tiba.
Penguapan pohon jati ini tidak berlangsung serentak, tetapi secara sporadis, tergantung kelembaban daerah itu. Makin lembab kondisi daerah, pohon jati masih tampak hijau dan segar, berbeda dengan pohon jati di daerah yang benar-benar kering dan tandus. Pohon jati cocok hidup di daerah kering atau kurang air.
Di wilayah pinggiran Kelurahan Naimata Kota Kupang misalnya, hampir sebagian besar kawasan hutan jati meranggas (mengering). Di wilayah lain, pohon masih tampak hijau. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh sistem kelembaban lingkungan itu.
Namun, di wilayah dataran rendah atau daerah aliran sungai seperti daerah aliran sungai Lili atau Bipolo, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, pohon jati tampak hijau atau segar.
Ketua Ikatan Pengusaha Kayu Jati NTT Achmat Laode mengatakan, Timor termasuk produksi jati terbesar di NTT. Setiap tahun wilayah ini menghasilkan sekitar 250.000 kubik kayu jati dari lima kabupaten di daratan Timor. Jati-jati ini biasanya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri mebel di NTT, juga sebagian dikirim ke Surabaya, Denpasar, Semarang, dan Yogyakarta.
Kayu jenis ini sebagai salah satu penopang ekonomi masyarakat NTT, tetapi banyak pihak tidak menyadari hal ini. Harga kayu jati di masyarakat Rp 4 juta-Rp 5 juta per meter kubik, di pengusaha kayu naik menjadi Rp 6-Rp 7 juta per meter kubik.
Ia mengatakan, masalah terbesar di NTT adalah kebakaran. Sebagian besar kawasan hutan setiap tahun selalu terbakar sehingga pohon jati, yang sebelumnya memiliki bentuk kayu yang bagus dan bernilai ekonomi tinggi, cenderung rusak akibat kebakaran sehingga berpengaruh terhadap nilai ekonomis kayu.
”Kayu jenis ini sebagai salah satu penopang ekonomi masyarakat NTT, tetapi banyak pihak tidak menyadari hal ini. Harga kayu jati di masyarakat Rp 4 juta-Rp 5 juta per meter kubik, di pengusaha kayu naik menjadi Rp 6-Rp 7 juta per meter kubik. Harga jati ditentukan oleh bentuk dan usia kayu,” kata Laode.
Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTT Fredi Kapitan mengatakan, data luasan hutan jati di NTT pada 2008 sekitar 250.000 hektar, tetapi menyusut menyusul pembangunan permukiman penduduk, penebangan liar, dan pembakaran. Data terakhir perhitungan luasan hutan jati masih dalam proses. Sebagian besar kawasan hutan jati ada di Timor dan Sumba.
Tumbuh alami
Jati ini tumbuh secara alamiah di lahan milik warga. Belum ada warga yang melakukan penanaman pohon jati secara khusus. Meski demikian, setelah pohon itu tumbuh dan berkembang, diklaim warga sebagai hak milik mereka.
Usia panen jati 5-20 tahun. Mayoritas tanaman jati di NTT jenis jati utama, selain jati super gama.
Anggota DPRD NTT, Jefri Un Banunaek, mengatakan, jati merupakan salah satu ikon ekonomi di NTT, khususnya di Pulau Timor dan Sumba. Jati dari dua pulau ini memiliki kualitas cukup bagus sehingga diminati industri mebel dari luar NTT. Kendati demikian, jati belum mendapat perhatian khusus dari pemda setempat. Belum ada budidaya pohon jati secara luas di masyarakat.
Ia mengatakan, setiap terjadi pergantian pimpinan selalu lahir kebijakan baru. Program penghijauan termasuk budidaya cendana yang dicanangkan 10 tahun lalu, ketika terjadi pergantian pimpinan kepala daerah, ditinggalkan. Tidak ada lagi penghijauan atau penanaman. Bahkan surat edaran larangan pembakaran hutan memasuki musim kemarau oleh pemda pun tak ada.
Kepedulian terhadap lingkungan kurang, NTT bakal mengalami masalah besar di bidang lingkungan. Meski dalam aksi penghijauan setiap musim hujan, hanya beberapa pohon yang tumbuh dari ratusan anakan pohon yang ditanami, itu membantu melestarikan lingkungan. Tetapi kegiatan ini berhenti dalam tiga tahun terakhir.
”Saya khawatir, ramalan beberapa pengamat kehutanan bahwa 50-100 tahun lagi NTT, khususnya Pulau Sumba, Sabu, dan sebagian Pulau Timor, berubah menjadi padang gurun. Hutan terbakar di mana-mana setiap kemarau tiba, penebangan liar, pembangunan permukiman penduduk, dan lebih parah lagi adalah pembukaan lahan pertanian secara berpindah-pindah tempat,” kata Banunaek.