Komisi I DPRD Kota Batam mendesak pelaku pelanggaran impor sampah plastik di Batam, Kepulauan Riau, segera ditindak tegas. Sanksi pemulangan kontainer saja dinilai tidak cukup menjadi pelajaran bagi importir nakal. Perlu ketegasan agar kasus serupa tidak terulang lagi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Komisi I DPRD Kota Batam mendesak pelaku pelanggaran impor sampah plastik di Batam, Kepulauan Riau, segera ditindak tegas. Sanksi pemulangan kontainer saja dinilai tidak cukup menjadi pelajaran bagi importir nakal. Perlu ketegasan agar kasus serupa tidak terulang lagi.
Anggota Komisi I DPRD Kota Batam, Lik Khai, Senin (24/6/2019), meminta pemerintah lebih sering turun ke lapangan memantau situasi nyata industri daur ulang sampah plastik. Selama ini, Pemerintah Kota Batam dinilai terlalu lunak dan mudah percaya terhadap laporan tertulis yang dikirim perusahaan.
”Perusahaan daur ulang plastik yang bahannya impor harus disetop. Anak cucu kita yang akan menanggung akibatnya jika lingkungan hidup rusak,” kata Khai dalam rapat dengar pendapat bersama perwakilan Pemkot Batam, Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Kantor Bea dan Cukai Batam.
Kepala Bidang Penindakan Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam IP mengatakan, saat ini terdapat 53 industri plastik daur ulang di Batam. Sejumlah 22 industri di antaranya diketahui menggunakan bahan baku sampah plastik impor. Bahan baku itu didatangkan dari Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa.
”Dalam satu bulan, industri itu membutuhkan 20.000 ton sampah plastik. Sekitar 5 persen dari jumlah itu tidak bisa didaur ulang. Artinya, per bulan industri itu membuang lebih kurang 1.000 ton sisa produksi sampah plastik ke tempat pembuangan akhir,” kata IP.
Sebelumnya, Jumat (14/6/2019), ditemukan 65 kontainer sampah plastik di Pelabuhan Batu Ampar yang dicurigai terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Saat ini, uji laboratorium tengah dilakukan untuk memastikan jumlah kandungan limbah B3 pada kontainer sampah plastik impor itu.
Dalam satu bulan, industri itu membutuhkan 20.000 ton sampah plastik. Sekitar 5 persen dari jumlah itu tidak bisa didaur ulang. Artinya, per bulan industri itu membuang lebih kurang 1.000 ton sisa produksi sampah plastik ke tempat pembuangan akhir.
Kepala Kantor Pelayanan Umum Bea dan Cukai Tipe B Kota Batam Susila Brata mengatakan, kontainer sampah plastik itu memiliki izin administrasi yang lengkap. Namun, kenyataan fisik di lapangan sampah plastik yang diimpor ternyata tidak homogen dan diduga terkontaminasi limbah B3.
Harus dipulangkan
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016, jika terbukti mengandung limbah B3, kontainer itu harus dipulangkan ke negara asal dalam jangka waktu 90 hari terhitung sejak barang itu tiba. Menurut Susila, kontainer itu tiba di Pelabuhan Batu Ampar pada Jumat (14/6/2019).
Lik Khai meminta penanganan impor sampah plastik tidak berhenti pada pemulangan kontainer. Ia berharap ada investigasi lanjut dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap importir yang terbukti melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016.
”Perusahaan daur ulang sampah plastik impor ada 22 banyaknya, tetapi importir cuma sembilan jumlahnya. Ada sesuatu yang mencurigakan, mungkin China sengaja membayar industri di Batam untuk mengolah sampah plastik dari negara maju agar mereka terima bersihnya saja,” kata Khai.