Konflik terkait lahan pertanian terus terjadi di Kalimantan Tengah. Hal itu dipicu minimnya komitmen pemerintah mengevaluasi perizinan konsesi dan mengoreksi kebijakan di masa lampau.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Konflik terkait lahan pertanian terus terjadi di Kalimantan Tengah. Hal itu dipicu minimnya komitmen pemerintah mengevaluasi perizinan konsesi dan mengoreksi kebijakan di masa lampau.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik dan publikasi kasus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Palangkaraya, Kamis (27/6/2019) bertema "Mendorong Pemulihan Hak Masyarakat dan Peran Paralegal dalam Penyelesaian Konflik Akibat Transformasi Lahan Skala Besar di Kalimantan Tengah".
Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut, Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga, dan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Norliani.
“Konflik yang terjadi saat ini merupakan buah dari kebijakan pengelolaan sumber daya alam di masa orde baru dan tidak ada koreksi terhadap kebijakan tersebut saat ini,” kata Sandrayati di sela-sela kegiatan.
Dalam paparan Walhi Kalteng, periode 2015-2018, sedikitnya ada 344 konflik di lahan seluas 151.524 hektar. Jumlah konflik lahan itu meningkat dari periode 2012-2015 mencapai 265 konflik lahan antara masyarakat dengan pemegang ijin konsesi.
Sandrayati mengungkapkan, Kalteng memiliki sejarah kebijakan yang unik. Di pemerintahan Agustin Teras Narang, muncul kebijakan agar surat kepemilikan tanah (SKT) dikeluarkan oleh damang atau pemuka adat. Hal itu menunjukkan kebijakan yang mengakui hak masyarakat.
“Meskipun kontroversi, tetapi ada kebijakan yang dibuat untuk memperkuat masyarakat adat, hanya saja belum memiliki cantolan di Badan Pertanahan Nasional. Harusnya dicari jalan keluarnya, sehingga bisa menyelesaikan konflik,” ungkap Sandrayati.
Dalam konteks konflik lahan di Kalteng, Nur Hidayati mengungkapkan, pemerintah baik di pusat maupun di daerah masih belum memiliki komitmen untuk menyelesaikan konflik lahan maupun mengevaluasi kembali perijinan.
Sampai saat ini, Kalteng masih bermasalah di tata ruang dan wilayah. Perda No 5/2015 tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015 - 2035 merupakan pengganti Perda No 8/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.
Pada Perda No 8/2003, kawasan bukan hutan Kalteng tersisa 32,9 persen dan 67,1 persen merupakan wilayah hutan. Sementara dalam Perda No 5/2015, kawasan bukan hutan menyusut menjadi 17,40 persen. Padahal, pada 2003-2015 banyak terjadi pembukaan lahan.
Perturan itu hingga kini belum direvisi dan membuat ratusan petani kehilangan lahannya karena masuk dalam wilayah konsesi. Penyelesaian konflik pun dilakukan parsial dari dinas-dinas tertentu dan sebatas mediasi.
“Walhi memiliki paralegal yang ada hingga di desa-desa, tujuannya hanya untuk membuat masyarakat menyadari hak mereka sebagai warga negara,” kata Nur.
Nur menjelaskan, sampai saat ini belum ada upaya proaktif dari pemerintah untuk menyelesaikan dan memetakan konflik lahan. Semua tindakan yang diambil pemerintah masih berdasarkan laporan dari masyarakat.
“Belum ada political will untuk ke sana (penyelesaian konflik), itu juga dibutuhkan untuk pemenuhan hak-hak masyarakat,” kata Nur.
Menanggapi hal itu, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Norliani mengungkapkan, sampai saat ini, pihaknya berusaha menyelesaikan banyak konflik yang berdampak pada lingkungan. Dengan adanya paralegal dan diskusi publik tersebut, semuanya sangat membantu kerja pemerintah.
Tahun ini, ada 12 laporan konflik yang masuk dalam DLH terkait pencemaran dan kerusakan akibat eksploitasi lahan. Semua kasus itu dianggap sudah selesai karena pemegang ijin atau perusahaan dengan cepat memperbaiki kesalahan atau kelalaiannya.
“Kalau tidak dibereskan ada mekanisme sanksi yang diberikan, baik administratif hingga pencabutan ijin,” kata Norlaini.
Norlaini menjelaskan, di wilayah Gunung Karasik, Kabupaten Barito Timur, pihaknya akan menurunkan tim guna melihat sungai-sungai yang rusak. Hal itu ia dapat dari pemberitaan di media dan laporan masyarakat.
“Kami mencoba meninjau langsung ke lapangan karena DLH di kabupaten sudah tidak bisa menyelesaikannya. Kami melihat kekurangannya karena pemerintah d kabupaten tidak melibatkan masyarakat saat turun ke lokasi,” kata Norlaini.