Gangguan Penglihatan Masih Jadi Ancaman Warga Pinggiran
Gangguan kesehatan mata masih mengancam masyarakat kurang mampu di wilayah pinggiran kota. Selain keterbatasan jangkauan layanan kesehatan, warga kalangan menengah ke bawah tersebut kesulitan membeli alat bantu kacamata karena kondisi ekonomi yang kurang memadai.
Oleh
MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Gangguan kesehatan mata masih mengancam masyarakat kurang mampu di wilayah pinggiran kota. Selain keterbatasan jangkauan layanan kesehatan, warga kalangan menengah ke bawah tersebut kesulitan membeli alat bantu kacamata karena kondisi ekonomi yang kurang memadai.
”Anak-anak tidak mungkin mencapai potensi mereka kalau tidak bisa melihat dengan jelas. Padahal dari mereka mungkin saja nanti ada yang jadi bupati, lurah, perawat, pedagang, dan lain-lain. Tapi karena mereka tidak bisa melihat dengan jelas, itu jadi masalah besar bagi mereka,” kata Ketua Yayasan Charity Vision Indonesia Subandriyo, Kamis (27/6/2019), di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.
Yayasan Charity Vision Indonesia menggelar pemeriksaan mata gratis serta membagikan 4.000 kacamata bagi anak-anak dan warga yang kurang mampu di Banyumas, Yogyakarta, Solo, dan pinggiran Jakarta. Di Banyumas, sedikitnya tercatat 781 warga dan anak-anak yang mengalami masalah gangguan penglihatan.
Subandriyo mencontohkan, dari pemeriksaan terhadap 1.081 orang di Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Banyumas, 781 orang mengalami gangguan kesehatan mata. ”Setelah diperiksa, hanya ada 627 orang yang datang lagi mengambil kacamata. Dari jumlah itu, 193 orang mengalami gangguan mata minus dan sisanya plus,” tuturnya.
Pihaknya menyasar daerah pinggiran dan perdesaan karena dinilai kurang terjangkau layanan kesehatan, khususnya pemeriksaan mata.
Subandriyo menyampaikan, pihaknya menyasar daerah pinggiran dan perdesaan karena dinilai kurang terjangkau layanan kesehatan, khususnya pemeriksaan mata. Menurut dia, persoalan mata biasanya bermula sejak kelas IV SD karena baru terdeteksi.
”Kadang ada yang mulai sejak kelas I atau II SD, tapi jumlahnya kecil. Dari pengalaman kami, anak sekitar 5 persen dari anak-anak kelas IV, V, dan VI SD itu bermasalah (matanya). Kalau SMP, naik jadi 10 sampai 12 persen,” katanya.
Pitaloka (10), yang duduk di kelas V SD, mengatakan, dirinya kesulitan melihat obyek yang berada jauh darinya. ”Tadi setelah diperiksa ternyata minus dua. Saya sering pusing karena sering mainan game di HP,” ucapnya.
Meinah (40), ibu Pitaloka, mengatakan, anaknya baru dibelikan telepon seluler sebulan terakhir, tetapi sangat sering menggunakannya dalam waktu cukup lama. Bahkan sering sejak sore hingga malam pukul 19.00. ”Kalau main HP, bisa lama sekali dan juga terlalu dekat dengan mata,” ujar Meinah.
Meinah merasa terbantu dengan adanya pemeriksaan mata tersebut dan mendapatkan kacamata dari Yayasan Charity Vision. Dengan berkontribusi Rp 20.000, Meinah yang tidak bekerja dan suaminya bekerja sebagai kuli bangunan merasa terbantu dengan layanan tersebut.
Umisiyatun (25), yang bekerja sebagai guru, juga memanfaatkan layanan itu. Dia menderita minus 0,5 karena terlalu sering membaca buku sambil tiduran. ”Saya suka baca buku sambil tiduran dan mengerjakan tugas dengan laptop terlalu lama,” tutur Umisiyatun.
Adib, salah satu sukarelawan dari Banyumas, menyampaikan, layanan kesehatan mata ini ditujukan bagi masyarakat yang berada di daerah pinggiran, terutama masyarakat desa hutan.
”Selain di Banyumas, layanan ini juga akan digelar di Brebes dan Cilacap. Di Banyumas, selain di Sokawera dan Purwokerto, layanan juga akan dilakukan di Ajibarang,” kada Adib yang juga inisiator Sekolah Kader Desa Brilian.