Luas lahan telantar di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, mencapai 125 hektar dari total luas sekitar 18.000 hektar. Warga sekitar lahan telantar itu diharapkan dapat memaksimalkan keberadaannya lewat budidaya hortikultura.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·2 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Luas lahan telantar di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, mencapai 125 hektar dari total luas sekitar 18.000 hektar. Warga sekitar lahan telantar itu diharapkan dapat memaksimalkan keberadaannya lewat budidaya hortikultura.
Paulus Koroh (36), warga Kelurahan Oebobo, Kota Kupang, Jumat (28/6/2019), mengatakan memiliki 25 bedeng sayur. Setiap bedeng berukuran 1 meter x 10 meter. Dia menanam sayur bayam, sawi, dan tomat di bedeng itu.
Tiga jenis sayur itu, lanjut Paulus, rata-rata menghasilkan Rp 300.000-Rp 450.000 per bedeng. Masa panen setiap 3-4 pekan. Ia bersama 12 orang menyewa tanah kosong seluas 5.000 meter persegi milik warga setempat untuk menanam sayur dan bumbu dapur.
Menurut Paulus, total lahan kosong di Kecamatan Oebobo sekitar 5 hektar. Lahan-lahan ini sudah ada pemiliknya, tetapi tidak didayagunakan. Padahal, tempat-tempat itu sangat strategis untuk pengembangan bisnis, termasuk usaha tanaman hortikultura. Ia menyebutkan, keuntungan yang diperoleh dari 25 bedeng sayur rata-rata Rp 8 juta per bulan. Konsumennya adalah pedagang sayur setempat.
Marciana Ga (25), mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Kota Kupang, mengatakan, dirinya memiliki tujuh bedeng sayur terung dan tomat di areal seluas 400 meter persegi. Setiap bedeng berukuran 2 m x 15 m. ”Saya kuliah pagi hari. Sore hari dan hari libur dimanfaatkan menggarap lahan ini,” ujarnya.
Menurut Marciana, dari satu bedeng, dirinya mendapatkan keuntungan Rp 300.000 setiap panen. Uang itu dimanfaatkan untuk membiayai kebutuhan hidupnya, mulai dari uang kos hingga transportasi menuju kampus.
Kepala Dinas Pertanian Kota Kupang Obed Kadji mengatakan belum melakukan pendataan terhadap luas tanaman hortikultura di dalam Kota Kupang. Tanaman hortikultura itu diadakan warga secara sporadis. Mereka menyewa lahan orang lain atau berusaha di atas lahan sendiri.
”Meski demikian, kami tetap memberikan penyuluhan atau bimbingan kepada petani musiman tersebut,” ucapnya.