Tingkat inflasi di Manado, Sulawesi Utara, menjadi yang tertinggi di Indonesia selama Juni 2019, yaitu sebesar 3,6 persen.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS - Tingkat inflasi di Manado, Sulawesi Utara, menjadi yang tertinggi di Indonesia selama Juni 2019, yaitu sebesar 3,6 persen. Lonjakan harga tomat sayur sebesar 3,45 persen menjadi penyumbang terbesar inflasi.
Hal ini terungkap dalam konferensi pers Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, Senin (1/7/2019), di Manado. Kepala BPS Sulut Ateng Hartono mengatakan, tingkat inflasi tersebut jauh di atas tingkat inflasi nasional sebesar 0,55 persen secara bulanan.
Secara tahunan, inflasi pada Juni 2019 mencapai 5,10 persen dibandingkan Juni 2018. Ini lebih tinggi dibandingkan angka tingkat nasional yang mencapai 3,28 persen. Adapun selama Januari-Juni 2019, inflasi di Manado mencapai 4,77 persen, jauh di atas tingkat inflasi nasional sebesar 2,05 persen.
"Jika kita melihat inflasi selama Januari-Juni 2019, ternyata kelompok bahan makanan mengalami peningkatan yang sangat besar, yaitu 17,26 persen, sementara kelompok yang lain, seperti makanan jadi, perumahan, dan pendidikan, cukup normal," kata Ateng.
Secara bulanan, peningkatan harga kelompok bahan makanan sebesar 13,73 persen. Tomat sayur yang sangat diminati di Manado sebagai bahan sambal dabu-dabu memberikan andil inflasi sebesar 3,45 persen. Padahal, sepanjang April 2019, tomat sayur menyumbang deflasi terbesar di Manado, yakni sebesar 1,32 persen.
Kepala Bagian Ekonomi Pemerintah Provinsi Sulut Sonny Runtuwene mengatakan, rerata harga tomat di pasar mencapai Rp 26.000 per kilogram. Dibandingkan April, harga tomat hanya Rp 3.000-Rp 4.000 per kilogram.
Kendati dinilai sangat besar, tomat menjadi satu-satunya penyebab inflasi tinggi. Harga bahan makanan lain cenderung stabil meski mengalami peningkatan, misalnya ikan cakalang (0,19 persen) dan cabai merah (0,024 persen). Beberapa bahan makanan lain bahkan mengalami deflasi, seperti cabai rawit (0,31 persen) dan bawang putih (0,106 persen).
Tapi, kalau tidak ada pengaruh pada komoditas lain, inflasi tidak akan berdampak buruk.
Ateng mengatakan, inflasi tersebut akan mudah diatasi. "Pasca-Lebaran pada awal Juni, harga tomat memang cenderung tinggi. Tapi, kalau tidak ada pengaruh pada komoditas lain, inflasi tidak akan berdampak buruk," kata Ateng.
Meski begitu, ia menggarisbawahi, peningkatan harga tomat tidak signifikan berdampak pada penghasilan petani. BPS Sulut mencatat, nilai tukar petani hortikultura (NTPH) pada Juni naik 0,88 persen menjadi 89,97 dari 89,18 pada Mei.
"Perlu dicari break-even point (titik impas) bagi petani. Itu saja yang harus dilakukan," kata Ateng.
Harga tomat di tingkat petani lebih rendah dibandingkan harga konsumen. Sonny mengatakan, petani menjual tomatnya Rp 8.000-Rp 15.000 per kg. Penyebab melonjaknya harga adalah panjangnya rantai pasok dari petani ke konsumen.
"Dari petani, tomat dijual kepada pedagang pengumpul, lalu ke pedagang perantara. Kemudian, ke pedagang pengumpul besar, sampai akhirnya dijual oleh pedagang pengecer. Artinya, ada empat kali perubahan harga, sehingga (harga) jadi sangat tinggi," kata Sonny.
Mengutip statistik hortikultura BPS, Asisten Analis Fungsi Asesmen Ekonomi dan Surveilans Bank Indonesia Sulut Yosua Nadapdap mengatakan, produksi tomat di Sulut cukup tinggi, mencapai 30.000 ton dalam setahun. Adapun konsumsi mencapai 20.000 ton.
"Namun, secara bulanan, produksi tidak selalu lebih tinggi. Terkadang produksinya tinggi, bisa juga rendah. Tidak ada pola yang teratur," kata Yosua.
Ia menambahkan, produksi tomat dari Sulut juga dikirim ke berbagai daerah dalam perdagangan antarpulau, seperti ke Ambon, Maluku; Ternate, Maluku Utara; hingga Sorong, Papua Barat.