Guru Dibekali Pendidikan Pemulihan Psikososial Pascabencana
Sejumlah guru di Kota Palu dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mengikuti pendidikan dan pelatihan pendampingan psikososial pascagempa. Dalam banyak bencana, masalah psikologis sering kali tak diperhatikan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·2 menit baca
PALU, KOMPAS — Sejumlah guru di Kota Palu dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mengikuti pendidikan dan pelatihan pendampingan psikososial pascagempa. Dalam banyak bencana, masalah psikologis sering kali tak diperhatikan.
Bertajuk Pelatihan Psikososial untuk Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah, acara ini dihadiri 15 guru sekolah menengah atas dan sederajat di Kota Palu dan Kabupaten Sigi. Kegiatan diselenggarakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Sulteng, Yayasan Kappala Indonesia, dan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Kegiatan dilangsungkan pada Selasa-Kamis (9-11/7/2019) di Kota Palu.
Peserta mengatakan, pascagempa 28 September lalu, tak ada pelatihan atau pendampingan psikososial dan pendidikan kebencanaan di sekolah masing-masing. Sebelum gempa pun tak ada kegiatan pendidikan kebencanaan, baik yang dilakukan pemerintah maupun lembaga sosial di sekolah mereka.
”Masalah psikososial relatif tak terurus di daerah bencana. Padahal, masalah ini bisa membuat seseorang, khususnya anak, terkendala perkembangannya pascabencana. Misalnya, cenderung menyendiri dari sebelumnya sering berkumpul bersama teman-teman,” kata fasilitator dari Yayasan Kappala Indonesia, Gendon, Selasa.
Dipilihnya guru sebagai peserta pelatihan karena sekolah menjadi tempat umum bagi anak berkumpul bersama. Dengan bekal pengetahuan yang dimiliki selama pelatihan, guru bisa mentransfer pengetahuan kepada banyak orang di lingkungan sekolah. Selain itu, jika terjadi bencana di kemudian hari, para guru bisa menjadi pendamping bagi anak-anak yang terdeteksi mengalami masalah psikososial.
Gendon menyatakan, di banyak tempat yang dilanda bencana, pemulihan psikososial sering dilakukan sukarelawan atau pendamping dari luar daerah. Hal itu tak salah. Namun, pemberdayaan tenaga lokal juga sangat mungkin dilakukan. Guru adalah contoh tenaga lokal yang punya kapasitas itu.
”Guru memiliki kedekatan emosional dengan anak. Guru pun punya kemampuan empati yang lebih dari orang lain. Ini bisa bermanfaat dalam pendampingan pascabencana,” ucap Gendon.
Meskipun jumlah peserta kegiatan sedikit, ia menyatakan, pelatihan psikososial penting dilakukan di tengah kecenderungan pemulihan fisik (pembangunan) yang gencar pascabencana. Pendampingan atau pembekalan psikososial pascabencana sering diabaikan seiring dengan berlalunya bencana dan dimulainya rekonstruksi fisik untuk pemulihan.
Tini (30), guru SMK Nusantara Sigi, senang bisa mengikuti pelatihan. Selama ini, guru tak dibekali dengan pengetahuan tentang kebencanaan dan pendampingan psikososial pascabencana. ”Kami akan berdiskusi dengan sekolah terkait implementasinya nanti. Yang jelas, pelatihan ini akan kami kembangkan di sekolah,” katanya.
Kepala Komnas HAM Perwakilan Sulteng Dedi Askhary menyatakan, pendidikan kebencanaan merupakan hak semua orang. Sejauh ini, formula pendidikan kebencanaan pascabencana di Sulteng belum jelas.
Beberapa waktu lalu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu Ansyar Sutiadi memastikan, pendidikan kebencanaan akan dimasukkan dalam pembelajaran di sekolah mulai tahun ajaran 2019 ini.