Akademisi Kehutanan Minta Pengesahaan RUU Pertanahan Ditunda
Para akademisi bidang kehutanan dari berbagai perguruan tinggi meminta pemerintah dan DPR menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan karena belum mengakomodir kepentingan konservasi dan ekologi
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS – Para akademisi bidang kehutanan dari berbagai perguruan tinggi meminta pemerintah dan DPR menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan. Hal ini karena isi RUU Pertanahan dinilai belum mengakomodir kepentingan konservasi dan ekologi sehingga pengesahan aturan tersebut dikhawatirkan akan mengancam kelestarian hutan di Indonesia.
Permintaan itu disampaikan melalui pernyataan sikap Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA) yang dibacakan di halaman Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (12/7/2019).
FOReTIKA mengusulkan penundaan pengesahan RUU Pertanahan dan melanjutkan pembahasannya hingga periode DPR RI berikutnya
Dalam acara itu, hadir pimpinan fakultas kehutanan dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, seperti UGM, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Jambi, Universitas Tadulako (Sulawesi Tengah), Universitas Mulawarman (Kalimantan Timur), Universitas Tanjungpura (Kalimantan Barat), dan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (Kalimantan Tengah).
“FOReTIKA mengusulkan penundaan pengesahan RUU Pertanahan dan melanjutkan pembahasannya hingga periode DPR RI berikutnya,” kata Ketua FOReTIKA Rinekso Soekmadi saat membacakan pernyataan sikap.
Rinekso menjelaskan, pernyataan sikap FOReTIKA itu disampaikan setelah mendengar rencana pengesahan RUU Pertanahan dalam waktu tak lama lagi. Padahal, berdasarkan kajian FOReTIKA, RUU Pertanahan masih membutuhkan sejumlah penyempurnaan. Salah satunya karena RUU itu dinilai belum mengatur secara eksplisit masalah ekologi dan konservasi hutan di Indonesia.
“Oleh karena itu, kami mengkhawatirkan keberlanjutan pengelolaan hutan ke depan kalau aturan ini disahkan,” ujar Rinekso yang juga merupakan Dekan Fakultas Kehutanan IPB itu.
Rinekso menyatakan, apabila RUU Pertanahan disahkan tanpa direvisi lebih dulu, dikhawatirkan proses alih fungsi hutan di Indonesia akan lebih mudah dilakukan. Sebab, RUU itu dinilai membuat pengelolaan lahan secara keseluruhan diserahkan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal, saat ini, pengelolaan lahan hutan merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Hari ini banyak kawasan hutan yang telanjur digunakan untuk keperluan lain, seperti perkebunan sawit. Kalau aturan ini dipaksakan untuk segera dilegalkan, kami khawatir masalah-masalah semacam itu akan ‘diputihkan’
“Dengan pengelolaan kawasan hutan oleh KLHK, alih fungsi kawasan hutan itu prosedurnya demikian susah supaya kawasan hutan tidak mudah habis. Kami khawatir, kalau kewenangan pengelolaan lahan diserahkan pada pihak lain yang tidak terlalu besar concern (perhatian) pada keberlanjutan pengelolaan hutan, jangan-jangan nanti semakin mudah alih fungsi hutan,” ungkap Rinekso.
Rinekso menambahkan, FOReTIKA juga khawatir pengesahan RUU Pertanahan akan menghadirkan legitimasi bagi kawasan hutan yang telanjur dimanfaatkan untuk tujuan lain. “Hari ini banyak kawasan hutan yang telanjur digunakan untuk keperluan lain, seperti perkebunan sawit. Kalau aturan ini dipaksakan untuk segera dilegalkan, kami khawatir masalah-masalah semacam itu akan ‘diputihkan’,” katanya.
Butuh pembahasan
Berbagai persoalan itulah yang membuat FOReTIKA berpendapat RUU Pertanahan masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Apalagi, menurut Rinekso, para akademisi kehutanan yang tergabung dalam FOReTIKA belum pernah diundang untuk berdialog dengan pemerintah dan DPR terkait RUU tersebut. “Ada banyak pasal yang menurut kami perlu dibahas lebih intensif,” tutur dia.
Sekretaris Jenderal FOReTIKA Didik Suharjito menuturkan, tujuan penyusunan RUU Pertanahan itu sebenarnya baik, yakni untuk menyempurnakan dan mendetailkan aturan pertanahan yang termuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Namun, menurut Didik, draft RUU Pertanahan saat ini justru berpotensi menimbulkan masalah, misalnya mengancam kelestarian hutan di Indonesia. Padahal, saat ini sudah banyak kawasan hutan di Indonesia yang mengalami kerusakan.
“Kalau undang-undang ini lebih sarat dengan aspek ekonomi dan meninggalkan aspek keadilan dan ekologi, sudah pasti akan mengancam keberlanjutan ekosistem hutan,” ujar Didik yang merupakan Guru Besar Departemen Manajemen Hutan IPB.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kehutanan UGM Budiadi mengatakan, DPR seharusnya tidak mengesahkan RUU Pertanahan pada masa transisi seperti sekarang. Sebab, RUU Pertanahan merupakan aturan yang sangat strategis dan memiliki dampak besar sehingga pengesahannya membutuhkan pembahasan yang intensif.
Kalau undang-undang ini lebih sarat dengan aspek ekonomi dan meninggalkan aspek keadilan dan ekologi, sudah pasti akan mengancam keberlanjutan ekosistem hutan
“Kami beranggapan, berisiko kalau aturan ini disahkan dalam kondisi transisi DPR. Dalam kondisi transisi kan mestinya tidak ada keputusan strategis yang membawa dampak jangka panjang bagi bangsa Indonesia,” ungkap Budiadi.