Setiap umat beragama hendaknya mau membaca dan memahami kitab sucinya masing-masing secara utuh. Hal ini sepatutnya dilakukan karena kitab suci sebenarnya dapat menjadi panduan untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS - Setiap umat beragama hendaknya mau membaca dan memahami kitab sucinya masing-masing secara utuh. Hal ini sepatutnya dilakukan karena kitab suci sebenarnya dapat menjadi panduan untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dirjen Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama Caliadi, mengatakan, kitab suci selalu mengajarkan tentang hal-hal positif bagi kehidupan, termasuk bagaimana hidup rukun berdampingan dengan orang lain yang memiliki perbedaan pandangan atau agama.
“Kitab suci agama apa pun, selalu mengajarkan bagaimana kita hidup di tengah masyarakat yang plural, yang sarat dengan begitu banyak keberagaman di dalamnya,” ujarnya, saat ditemui usai acara pembukaan Indonesia Tipitaka Chanting di Taman Lumbini di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (12/7/2019).
Dengan memahami kitab suci, menurut dia, umat pun akan lebih memahami esensi agamanya. Pada tahap selanjutnya, yang terpenting adalah umat dapat mengimplementasikan ajaran-ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Kitab suci agama apa pun, selalu mengajarkan bagaimana kita hidup di tengah masyarakat yang plural, yang sarat dengan begitu banyak keberagaman di dalamnya
Indonesia Tipitaka Chanting 2019 berlangsung selama tiga hari, 12-14 Juli 2019. Acara ini diikuti oleh sekitar 1.000 orang beragama Budha dari Sangha Theravada, yang terdiri dari umat dan para bhiksu. Mereka berdatangan dari seluruh Indonesia, serta berbagai sejumlah negara antara lain, Thailand, Bangladesh, Kamboja, Vietnam, dan Malaysia. Selama pelaksanaan acara ini, semua peserta yang terlibat akan terus menerus membaca, mendaraskan sebagian isi dari Tripitaka. Pembacaan teks dilakukan dalam bentuk bahasa aslinya, yaitu bahasa Pali.
Kepala Sangha Theravada Indonesia Bhikku Si Pannavaro Mahathera, mengatakan, Tripitaka terdiri dari ratusan ribu khotbah, yang merupakan kumpulan dari khotbah pertama Sang Budha waktu berusia 35 tahun hingga 80 tahun.
Namun, setiap acara Tipitaka Chanting, umat dan biksu biasanya hanya akan membaca sebagian isi dari 10 khotbah saja. Setelah dari pagi hingga siang, terus sibuk mendaraskan sebagian isi Tripitaka, maka pada malam hari, nantinya akan ada biksu yang menjelaskan makna isi dari kitab suci yang telah didaraskan.
Selama mengikuti Tipitaka Chanting, setiap umat yang biasanya hanya menjalankan lima sila atau pantangan, maka, khusus di tiga hari ini, umat diminta menjalankan tambahan tiga sila lagi, menjadi delapan sila. Adapun, pantangan tersebut antara lain adalah tidak boleh makan setelah jam 12 siang, tidak boleh memakai kosmetik, dan tidak boleh tidur di tempat yang tinggi dan mewah.
Minggu (14/7/2019), rangkaian Indonesia Tipitaka Chanting akan ditutup dengan acara perayaan Asadha Agung. Perayaan ini dilakukan sebagai bentuk peringatan terhadap khotbah pertama Sang Budha.
Indahnya kehidupan
Ketua Komisi Hubungan Antar Umat Beragama Keuskupan Agung Semarang (KAS), Romo Aloysius Budi Purnomo Pr, yang turut diundang menghadiri acara Indonesia Tipitaka Chanting, menuturkan dirinya pun terkesima mendengarkan alunan teks yang didaraskan oleh umat Budha.
Kekhidmatan suasana di tengah umat, membuatnya tersadar betapa indahnya kehidupan, jika banyak orang bisa menjadi kitab suci sebagai landasan hidup sehari-hari.
“Dengan menjadikan kitab suci sebagai landasan hidup, kita dapat mewujudkan peradaban kasih bagi seluruh umat, meuwujudkan perilaku yang semakin beriman, saling mengasihi, dan saling menghormati satu sama lain,” ujarnya.
Romo Aloysius Budi Purnomo Pr, mengatakan, acara ini juga dinilainya, sangat inspiratif untuk agama lain. Untuk agama Katolik misalnya, konsep acara serupa, menurut dia, bisa dilakukan dalam acara peringatan bulan kitab suci nasional.