”Paman Sam” Diminta Angkut Balik Sampah dari Jawa Timur
Kalangan pegiat pelestarian lingkungan hidup, Jumat (12/7/2019), berdemonstrasi di dekat Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Jawa Timur.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pegiat pelestarian lingkungan hidup, Jumat (12/7/2019), berdemonstrasi di dekat Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Jawa Timur. Mereka meminta perwakilan ”Negeri Paman Sam” itu mendesak Presiden AS Donald Trump agar menarik kembali sampah plastik yang sempat dikirim dan tertimbun di Jawa Timur.
Para aktivis menyatakan diri berasal dari sejumlah lembaga dan komunitas. Mereka menyatakan diri berasal dari HET ACTIEFONDS, NO WASTE (Network of Women Action for Save The Earth), Bracsip (Brantas River Coalition to Stop Imported Plastic Thrash), dan Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation) atau Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah.
Dalam unjuk rasa di dekat Konjen AS itu, mereka membentangkan spanduk dan poster. Selain itu, etalase patung besar ikan dengan bagian perut terbuka, sisik dari tempelan sampah kemasan plastik, dan ceceran sampah plastik aneka jenis, seperti botol, popok, dan kemasan.
Satu spanduk bertuliskan ”Indonesia Bukan Tempat Sampah Amerika Serikat”. Spanduk lainnya bertuliskan ”Take Back Indonesia Not Your Recyle Bin”. Mereka menyuarakan aspirasi melalui poster bertuliskan ”Indonesia Bukan Tempat Sampah Amerika Serikat” dengan foto tumpukan sampah dan bendera AS.
Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengatakan, AS merupakan negara terbesar pengirim sampah ke Indonesia, termasuk Jatim. Jumlahnya diperkirakan 56.000 ton sepanjang 2018. Masalahnya, sampah yang dikirim ke Indonesia diselipkan dalam bahan baku kertas.
Sampah-sampah itu juga tidak bisa didaur ulang dan berbahaya. Akibatnya, di Jatim, misalnya, sampah-sampah ditimbun salah satunya di sempadan Sungai Brantas di wilayah Mojokerto, Sidoarjo, dan Gresik.
Tim Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Perak sebelumnya memeriksa delapan peti kemas asal Australia yang berisi sampah plastik bercampur limbah B3. Selain itu, 38 kontainer dengan isi serupa dari AS. Sebelum kedatangan 38 peti kemas itu, Indonesia mengirim balik 5 kontainer isi sampah ke AS.
”Mereka adalah negara maju yang beradab, tetapi biadab membuang sampah kotoran manusia, popok bekas, celana dalam, botol, tas kresek, dan kemasan plastik ke Indonesia,” ujar Prigi.
Pengiriman sampah plastik, apalagi limbah B3, ke Indonesia jelas melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. ”Mereka tidak menghargai Indonesia dan secara sengaja berbuat tindak pidana lingkungan,” kata Rully Mustika Adya, pengacara publik sekaligus pegiat lingkungan hidup.
Dari penelitian secara independen oleh sejumlah lembaga lingkungan hidup pada 2019, ditemukan fakta Sungai Brantas telah tercemar mikroplastik, salah satu komponen dalam sampah plastik yang berbahaya. Dari enam sampel lokasi di Sungai Brantas, kandungan mikroplastiknya 293-2499 partikel per liter. Padahal, 92 persen persediaan air minum, terutama bagi 3 juta jiwa warga Surabaya, berasal dari Sungai Brantas.