Badan Nasional Penanggulangan Bencana menerapkan strategi sinergitas Pentahelix dalam penggulangan bencana. Strategi tersebut melibatkan lima unsur masyarakat berbeda dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS – Badan Nasional Penanggulangan Bencana menerapkan strategi sinergitas Pentahelix dalam penggulangan bencana. Strategi tersebut melibatkan lima unsur masyarakat berbeda dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
Dalam Pentahelix lima unsur tersebut ialah, pemerintah, dunia usaha, media, komunitas dan akademisi. Konsep ini diharapkan dapat mengurangi kecenderungan masyarakat untuk terlalu bergantung pada pemerintah saat menanggulangi bencana.
Hal tersebut disampaikan Direktur Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan dalam pembukaan ekspedisi Desa Tangguh Bencana Tsunami Regio Jawa di Banyuwangi, Jumat (12/7/2019).
“Sistem desentralisasi membuat pendanaan dan ketersediaan personel dalam penanggulangan bencana di daerah lemah. Oleh karena itu dibutuhkan sinergitas dari pentahelix yang terdiri dari pemerintah, dunia usaha, media, komunitas dan akademisi,” ujarnya.
Keterlibatan dunia usaha
Lilik menjelaskan, dunia usaha bisa turut serta dalam upaya penanggulangan bencana melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Media bisa berperan melalui publikasi dan sosialisasi. Sedangkan komunitas bisa mengerahkan tenaga relawan dan akademisi bisa menyumbangkan ilmu serta kepakarannya.
Hal senada disampaikan Kepala BNPB Letnan Jenderal Doni Monardo. Menurutnya, seberapa pun banyaknya dana yang dimiliki pemerintah tidak akan pernah cukup untuk penanggulangan bencana.
Oleh karena itu sinergitas elemen masyarakat perlu ditingkatkan dalam upaya penanggulangan bencana. Doni mencontohkan, pemerintah sudah mengalokasikan dana Rp 7,7 triliun untuk integrasi sistem peringatan dini. Namun luasnya wilayah membuat anggaran tersebut tidak cukup.
“Karena itu perlu integrasi sistem peringatan dini dibangun sesuai skala prioritas sesuai jumlah penduduk paling padat dengan ancaman yang paling tinggi. Namun perlu diingat peningkatan kesiapsiagaan dan kewaspadaan jauh lebih penting. Kewaspadaan harus ditinggkatkan sejak level keluarga atau bahkan masing-masing pribadi,” kata Doni.
Doni menyebut, Indonesia memiliki 11 ancaman bencana alam antara lain tsunami, likuefaksi, hidrometrologi, dan gempa bumi. Potensi ancaman paling besar ada di pesisir barat Pulau Sumatera, pesisir selatan Pulau Jawa hingga sisi timur Pulau Sulawesi.
Ekspedisi Desa Tangguh Bencana merupakan bagian untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan warga yang berada di daerah rawan bencana. Data BNPB mencatat, ada 5.744 desa/kelurahan se Indonesia yang masuk dalam daerah rawan bencana.
Di Banyuwangi daerah rawan bencana membujur dari pantai selatan, pantai timur hingga daerah Banyuwangi utara. Desa-desa tersebut memiliki tingkat bahaya rendah, sedang dan tinggi
Sebanyak 584 di antaranya terdapat di pesisir selatan Pulau Jawa. Di Banyuwangi, sedikitnya terdapat 48 desa di 11 Kecamatan yang masuk dalam daerah rawan bencana.
“Di Banyuwangi daerah rawan bencana membujur dari pantai selatan, pantai timur hingga daerah Banyuwangi utara. Desa-desa tersebut memiliki tingkat bahaya rendah, sedang dan tinggi,” ujar Kepala Bidang Kedaruratan BPBD Banyuwangi Eka Muharam.
Bencana alam terbesar yang pernah terjadi di Banyuwangi dalam seperempat abad terakhir ialah gelombang tsunami di pesisir selatan. Pada 3 Juni 1994, gelombang Tsunami hingga ketinggian 6 meter menyapu daerah Pancer, Grajagan dan Lampon dan mengakibatkan lebih dari 200 orang meninggal dunia.