Layanan pendidikan tidak boleh eksklusif, tetapi inklusif. Pendidikan tidak boleh menolak apalagi mengabaikan anak berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas. Misi itulah yang didengungkan dalam 3rd International Conference on Special Education di Surabaya, Sabtu (13/7/2019),
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pendidikan inklusi perlu terus dikembangkan. Setiap anak, termasuk yang berkebutuhan khusus, berhak mendapat pendidikan. Untuk itu, layanan pendidikan tidak boleh eksklusif, tetapi inklusif. Pendidikan tidak boleh menolak apalagi mengabaikan anak berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas.
Misi itulah yang coba kembali didengungkan dalam 3rd International Conference on Special Education yang dibuka pada Sabtu (13/7/2019), di Surabaya, Jawa Timur. Konferensi bienial ini bertujuan terus meningkatkan kesadaran terutama di negara-negara Asia Tenggara dalam mengakomodasi pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK).
Dalam konvensi ketiga ini, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ditunjuk sebagai tuan rumah bersama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Southeast Asia Ministers of Education Organization (SEAMEO) Regional Centre for Special Education (SEAMEO SEN).
Guru Besar Ilmu Olahraga sekaligus Rektor Unesa Nurhasan mengatakan, masyarakat secara umum melihat ABK sebagai individu yang berkekurangan. Namun, jika dilihat dari sisi lain, ABK merupakan individu yang spesial.
Untuk itu, pendidikan berikut sarana prasarana perlu khusus atau spesial. Pendidikan inklusi kini menjadi program studi unggulan kampus itu. Sarana dan prasarana baru bahkan lama secara bertahap disempurnakan untuk mengakomodasi individu berkebutuhan khusus.
”Kami sekuat tenaga mengusahakan kampus ramah bagi mereka yang berkebutuhan khusus,” ujar Nurhasan.
Diskriminasi terjadi
Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus Kemendikbud Sanusi menyebutkan, segregasi bahkan diskriminasi pendidikan terhadap ABK masih terjadi. Sepatutnya, ABK dapat mengenyam pendidikan di sekolah reguler. ABK bukanlah individu yang tidak normal, tetapi spesial.
”Namun, sekolah yang ingin menjadi lembaga inklusi perlu memenuhi berbagai syarat sehingga dapat memaksimalkan potensi ABK,” lanjut Sanusi.
ABK dengan kondisi fisik tak sempurna, misalnya, janganlah dimasukkan ke kelas di lantai 2 atau 3 di sekolah yang tak memiliki lift. Disediakan juga pegangan untuk tangan dan jalur khusus bagi siswa tunanetra. Guru-guru perlu terus mengembangkan diri dengan sejumlah pelatihan tentang cara mendidik ABK.
Dengan begitu, pada prinsipnya, pendidikan inklusif dapat dilaksanakan di seluruh jenjang. Namun, dalam sejumlah situasi, keberadaan sekolah luar biasa (SLB) masih diperlukan.
SLB ini untuk menangani ABK berkemampuan intelektual rendah. Masalahnya, di Indonesia masih ada 58 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB negeri. SLB swasta kerap masih membebani dengan biaya sehingga memberatkan orangtua atau keluarga ABK. ”Padahal, SLB negeri penting untuk mengakomodasi ABK dari keluarga tak mampu,” ujar Sanusi.
Di Indonesia masih ada 58 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB negeri.
Sanusi serta Staf Ahli Mendikbud Bidang Inovasi dan Daya Saing Ananta Kusuma Seta menyatakan, lembaga mereka sedang mendorong keluarnya regulasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) untuk ABK dengan mendasarkan pada sistem zonasi. Dengan begitu, jangan sampai ABK bersekolah di tempat yang jauh atau malah tidak dapat mengenyam pendidikan karena kondisi fisiknya.
”Kami mendorong sekolah inklusi memperbesar persentase penerimaan siswa-siswi yang ABK,” kata Ananta.
Selain itu, karena merupakan ABK, tidak bisa dikenai syarat yang kaku. Misalnya, ABK berusia 15 tahun tetapi baru menamatkan sekolah dasar seharusnya bisa diterima di SMP inklusi. Sekolah jangan menolak dengan alasan usia terlewati.
Ketua Pengarah Pelajaran Kementerian Pendidikan Malaysia Datuk Amin Senin mengatakan, di negeri jiran itu, pemerintah terus mendorong masyarakat agar tidak menolak ABK dengan zero reject policy. Publik didorong memasukkan ABK ke sekolah-sekolah yang dekat dengan kediaman. Selain itu, diminta agar orangtua mengantar bahkan jika memungkinkan turut mendampingi ABK dalam proses belajar-mengajar.
Direktur SEAMEO SEN Salmah Jopri menyebutkan, zero reject policy merupakan contoh baik dari Malaysia yang bisa dimodifikasi dan dikembangkan dalam pendidikan inklusi termasuk di Indonesia. Prinsip menghilangkan diskriminasi terhadap ABK harus terus diupayakan. ABK dapat dan mampu berkembang sehingga berhak juga mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah umum.