Badan Pusat Statistik Lampung mencatat, jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung pada Maret 2019 menurun sebanyak 27.940 jiwa.
Oleh
Vina Oktavia
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Badan Pusat Statistik Lampung mencatat, jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung pada Maret 2019 menurun sebanyak 27.940 jiwa. Selain terjaganya harga pangan, pertumbuhan ekonomi dan penurunan jumlah pengangguran menjadi faktor yang menekan angka kemiskinan di Lampung.
Hal itu terungkap dalam paparan hasil survei tingkat kemiskinan per Maret 2019 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung di Bandar Lampung, Senin (15/7/2019).
Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Lampung Mas’ud Rifai memaparkan, berdasarkan survei itu, jumlah penduduk miskin di Lampung 1.063.660 jiwa. Jumlah itu setara dengan 12,62 persen dari total jumlah penduduk Lampung yang sebanyak 8,42 juta jiwa. Jumlah itu menurun jika dibandingkan dengan survei terakhir pada September 2018 yang mencapai 1.091.600 jiwa.
Selama September 2018-Maret 2019, garis kemiskinan (GKM) di Lampung naik dari Rp 409.881 menjadi Rp 418.309 per kapita per bulan. Garis kemiskinan makanan menyumbang 72,46 persen dari nilai garis kemiskinan tersebut. GKM adalah nilai pengeluaran kebutuhan minuman dan makanan per orang per hari yang setara dengan 2.100 kalori.
Mas’ud menjelaskan, menurunnya jumlah penduduk miskin di Lampung dipengaruhi sejumlah faktor, antara lain pertumbuhan ekonomi dan menurunnya jumlah pengangguran. Pada triwulan I 2019, ekonomi di Lampung tumbuh sebesar 5,18 persen. Adapun pada Februari 2019, jumlah pengangguran terbuka di Lampung juga tercatat menurun dari 4,33 persen menjadi 3,96 persen.
Dia menambahkan, terjaganya harga bahan pangan selama periode September 2018 hingga Maret 2019 juga menjadi faktor yang memicu penurunan jumlah penduduk miskin di Lampung. Meski harga bahan pokok, terutama beras, cabai merah, dan bawang merah, sempat naik, ada upaya menstabilkan harga melalui operasi pasar. ”Ini mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya,” kata Mas’ud.
Meski begitu, masih tingginya jumlah penduduk miskin di pedesaan di Lampung harus menjadi perhatian. Saat ini, sebanyak 831.800 jiwa penduduk miskin atau 78,20 persen berada di pedesaan. Adapun 231.860 jiwa sisanya berada di perkotaan.
Menurut Mas’ud, masih tingginya jumlah penduduk miskin di pedesaan dipicu menurunnya harga komoditas. Padahal, masyarakat desa tidak banyak memiliki alternatif pekerjaan selain bertani. Penurunan harga komoditas akan berdampak besar bagi kesejahteraan petani.
Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan agar program bantuan untuk warga miskin di pedesaan tersalurkan dengan baik. ”Program bantuan seperti pemberian beras untuk keluarga prasejahtera atau program keluarga harapan ini harus tepat sasaran dan langsung sampai ke penduduk miskin,” katanya.
Hasil panen tahun ini tidak cukup untuk biaya sekolah anak karena harga lada anjlok.
Supangat, petani lada asal Kabupaten Lampung Timur, Lampung, menuturkan, tahun ini, harga lada hitam anjlok menjadi Rp 25.000-Rp 30.000 per kilogram. Harga itu paling rendah dalam empat tahun terakhir.
Anjloknya harga komoditas itu berdampak pada kondisi perekonomian petani. ”Hasil panen tahun ini tidak cukup untuk biaya sekolah anak karena harga lada anjlok,” ujarnya.
Supangat mengatakan tidak mengetahui penyebab anjloknya harga lada. Selama ini, harga lada ditentukan oleh tengkulak. Sebagian petani memilih menunda menjual hasil panen sembari berharap harga membaik. Namun, petani yang terdesak kebutuhan ekonomi terpaksa menjual lada dengan harga rendah.