KENDARI, KOMPAS - Sidang kasus korupsi Rp 4,8 miliar di Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, kembali dilanjutkan pada Senin (15/7/2019). Selain menghadirkan tiga orang terdakwa, agenda utama sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan belasan saksi terkait penyelewengan dana anggaran pemeliharaan Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe pada tahun 2016.
Sidang lanjutan kasus itu berlangsung di Pengadilan Tipikor Kendari. Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Andri Wahyudi ini kembali mendengarkan keterangan sejumlah saksi dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Pendidikan.
"Hari ini mendengarkan keterangan saksi 14 orang. Silakan 5 orang saksi dahulu maju dan memberikan kesaksian," kata Andri.
Kasus korupsi yang telah menyeret tiga orang terdakwa ini diduga menyelewengkan uang negara sebesar Rp 4,8 miliar. Sebanyak Rp 295 juta telah dikembalikan oleh sejumlah pihak, sehingga jumlah kerugian negara sebesar Rp 4,5 miliar.
Tiga orang terdakwa adalah Ridwan Lamaroa selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe hingga Mei 2016, Jusmin Pagala selaku Plt Kadis Pendidikan Kabupaten Konawe periode Mei-Desember 2016, dan Gunawan selaku bendahara dinas. Ketiganya didakwa merugikan negara dan diancam pidana pasal 2 ayat 1 juncto pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, para terdakwa menyelewengkan dana anggaran pemeliharaan Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe pada tahun 2016. Anggaran sebanyak Rp 4,8 miliar itu untuk pemeliharaan 27 kantor UPTD dan ratusan sekolah.
Dalam sidang, hakim menanyakan terkait adanya dana pemeliharaan di UPTD pada tahun 2016 tersebut. Dana pemeliharaan gedung itu adalah yang pertama kalinya setelah bertahun-tahun tidak pernah ada.
"Apakah sebelumnya pernah ada dana pemeliharaan untuk UPTD?" tanya hakim.
Ganefo, seorang saksi yang merupakan salah satu kepala UPTD, menyampaikan, selama ia menjabat, tidak pernah ada dana pemeliharaan gedung untuk UPTD. Ia bahkan baru mengetahui adanya dana pemeliharaan gedung sekolah setelah adanya pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Kami tidak ada pemeliharaan, Pak. Kantor kami itu kami pinjam milik sekolah," tuturnya.
Senada dengan itu, Dewi Saranani, saksi lainnya yang saat itu juga menjabat Kepala UPTD, menyampaikan, selama sepuluh tahun menjabat, ia menumpang di sebuah sekolah untuk berkantor. Hingga tahun 2015, tidak pernah ada dana pemeliharaan untuk UPTD.
Meski demikian, para kepala UPTD ini menandatangani laporan pertanggungjawaban pemeliharaan. Dalam sidang diketahui mereka pernah dikumpulkan setelah adanya temuan dari BPK. Di pertemuan itu mereka sepakat untuk bertandatangan di laporan.
"Itu bentuk loyalitas kepada pimpinan saja," ucap Dewi.
Di kemudian hari, para kepala UPTD ini kembali membuat pernyataan tidak pernah memakai anggaran pemeliharaan yang menjadi temuan BPK. Nasution, saksi lainnya, mengucapkan, hal itu inisiatif bersama dari semua Kepala UPTD karena memang tidak pernah menggunakan aggaran untuk pemeliharaan.
Majelis hakim mengingatkan agar tidak sembarangan menandatangani sesuatu. Perbuatan itu bisa dianggap memperkaya atau membantu orang lain.
Kasus korupsi di Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe untuk tahun anggaran 2016 ini masih terus bergulir. Beberapa waktu lalu, kepolisian juga telah meminta keterangan sejumlah orang yang disebutkan oleh terdakwa, termasuk bupati dan wakil bupati saat itu, dan sejumlah pihak lainnya.