Lima desa dan satu kelurahan di Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, didorong menjadi Desa Adat Dayak Ngaju. Skema desa adat menjadi celah baru menangani konflik agraria dan sosial di provinsi tersebut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Lima desa dan satu kelurahan di Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, didorong menjadi Desa Adat Dayak Ngaju. Skema desa adat menjadi celah baru menangani konflik agraria dan sosial di provinsi tersebut.
Hal itu terungkap dalam Lokakarya Persiapan Penetapan Desa Adat Se-Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, di Palangkaraya, Selasa (16/7/2019). Kegiatan tersebut diinisiasi Borneo Institute (BIT). Sebanyak 94 peserta hadir dalam kegiatan itu, berasal dari Desa Tumbang Mantuhe, Putat Durei, Tumbang Samui, Tumbang Oroi, Desa Luwuk Tukau, dan Kelurahan Tehang.
Dalam kesempatan itu, pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, Yando Zakaria, mengungkapkan, desa adat merupakan harapan baru masyarakat adat yang terbelenggu konflik agraria. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang tak kunjung disahkan membuat konflik agraria tak pernah usai.
”Menjadi desa adat bisa menyelesaikan krisis agraria dan dasar hukumnya ada. Tinggal komitmen daerah untuk mendorong hal ini, contohnya sudah banyak,” ucap Yando.
Yando menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah memfasilitasi pembentukan desa adat. Kriterianya, desa tersebut harus memiliki hak asal-usul.
Hak asal-usul, menurut Yando, meliputi tiga hal, yakni susunan atau tatanan adat, komunitas adat beserta norma dan aturan, serta yang terakhir teritori atau wilayah adat. ”Begitu menjadi desa adat, luas wilayahnya, ya, seluas wilayah administrasi desa tersebut,” ujarnya.
Begitu menjadi desa adat, luas wilayahnya, ya, seluas wilayah administrasi desa tersebut.
Pembentukan desa adat, lanjut Yando, berbeda dengan pembentukan hutan adat. Dalam tatanan hutan adat, setiap obyek perlu diatur dalam peraturan daerah, mulai dari pengakuan masyarakat adat hingga status kawasan. Sementara dalam desa adat, negara secara otomatis mengakui masyarakat adat dan juga wilayahnya dalam satu peraturan daerah.
”Peraturan daerah itu dibuat pemerintah provinsi baru diikuti oleh perda kabupaten. Di Kalteng belum ada satu pun desa adat karena celah ini belum dilihat,” ucap Yando.
Dia mencontohkan Provinsi Bali yang memiliki sedikitnya 1.490 desa adat. Desa-desa tersebut sampai saat ini diperkuat dengan berbagai program pemerintah. Bahkan, desa adat juga tetap bisa menggunakan dana desa. Tidak ada perbedaan ataupun penghalang dengan desa administratif.
Direktur Borneo Institute Yanedi Jagau mengungkapkan, lima desa dan satu kelurahan di Gunung Mas ingin menjadi desa adat karena banyak faktor. Selain konflik agraria dengan banyak perusahaan, kemunculan wacana pemindahan ibu kota negara membuat desa adat dinilai mampu memproteksi budaya dan adat Dayak.
”Ini untuk masa depan, bukan untuk generasi sekarang saja. Apalagi kalau jadi ibu kota,” ujar Yanedi.
Di Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, sedikitnya terdapat dua perusahaan perkebunan sawit yang sudah memiliki hak guna usaha (HGU). Beberapa lahan warga berbatasan langsung bahkan ada yang diambil perusahaan.
”Kalau jadi desa adat, yang HGU tetap bisa berjalan karena itu hak sementara. Tetapi kalau selesai, dikembalikan ke masyarakat adat karena itu sudah jadi ulayat adat,” kata Yanedi.
Dia menjelaskan, dalam wacana pemindahan ibu kota negara, kecamatan tersebut akan berbatasan langsung dengan lokasi yang disiapkan pemerintah daerah sebagai lokasi pemindahan. Pembentukan desa adat akan memproteksi masalah sosial di antara masyarakat. Apalagi diprediksi 1,5 juta orang akan masuk ke Kalteng jika ibu kota dipindahkan ke daerah tersebut.
”Tak hanya konflik agraria yang diantisipasi, tetapi juga konflik sosial,” ujar Yanedi.