Evaluasi izin-izin pemanfaatan hutan dan lahan sesuai moratorium hutan primer dan lahan gambut di Kalimantan Tengah dinilai lambat. Kondisi tersebut menjadi salah satu pemicu konflik lahan di masyarakat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Evaluasi izin-izin pemanfaatan hutan dan lahan sesuai moratorium hutan primer dan lahan gambut di Kalimantan Tengah dinilai lambat. Kondisi tersebut menjadi salah satu pemicu konflik lahan di masyarakat.
Hal itu disampaikan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono saat unjuk rasa di Palangkaraya, Kamis (18/7/2019). Pada saat yang sama, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bersama Direktur Jenderal Perkebunan Kasdi Subagyono mengunjungi Palangkaraya untuk meluncurkan program 500 juta bibit perkebunan gratis kepada masyarakat.
”Pemerintah lebih siap pada proses pilkada di Kalteng ketimbang mengevaluasi perizinan sesuai moratorium dari Presiden,” ucap Dimas.
Dia melihat, belum ada keseriusan pemerintah menjalankan moratorium. Menurut Dimas, 80 persen wilayah di Kalteng berada di wilayah konsesi di sektor pertambangan, perkebunan, dan izin lain.
”Di sektor sawit, konflik antara masyarakat dan perusahaan tak kunjung usai. Masalahnya banyak tumpang tindih izin,” ujar Dimas.
Menurut dia, dalam mengevaluasi perizinan, pemerintah harus mengambil beberapa tindakan, seperti audit lingkungan di lokasi konsesi, penegakan hukum, dan penyelesaian konflik. ”Ini hanya bisa dilakukan kalau ada komitmen pemerintah,” lanjutnya.
Dalam mengevaluasi perizinan, pemerintah harus mengambil beberapa tindakan, seperti audit lingkungan di lokasi konsesi, penegakan hukum, dan penyelesaian konflik.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi untuk melakukan audit perkebunan sawit. Hasilnya, KPK menemukan banyak lahan sawit beroperasi di luar izin atau di kawasan lindung.
”Metode yang sama bisa digunakan pemerintah untuk mengevaluasi perizinan, bahkan kerja sama saja dengan KPK,” ucap Dimas.
Sebelumnya, sejumlah kalangan mendorong agar moratorium pemberian izin pemanfaatan hutan dan lahan selama 11 tahun dievaluasi agar selaras dengan reforma agraria dan perhutanan sosial. Saat ini, pengawasan moratorium atau penghentian sementara pemberian izin pemanfaatan hutan dan lahan lemah. Akibatnya, banyak hutan alam justru terancam jadi perkebunan sawit.
Moratorium pemanfaatan hutan diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut berakhir Rabu ini (Kompas, 17/7/2019).
Menanggapi hal itu, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono mengungkapkan, evaluasi akan berjalan bersamaan dengan program peremajaan sawit rakyat. Meskipun demikian, pihaknya berharap pemerintah daerah bisa lebih proaktif karena lebih memahami lokasi.
”Izin, kan, diberikan daerah, kami mendorong terus daerah untuk terus mengawasi dan mengevaluasi izin di wilayahnya masing-masing,” kata Kasdi.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng Rawing Rambang menjelaskan, pemerintah sedang membentuk tim percepatan evaluasi perizinan. Tidak hanya perkebunan sawit, tetapi juga di seluruh sektor. ”Evaluasi akan dilakukan banyak pihak secara menyeluruh,” ujar Rawing.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mencatat, dari tahun 2015 hingga 2018, terdapat 344 konflik di lahan seluas 151.524 hektar yang sebagian besar berada di wilayah kelola adat. Sampai saat ini, konflik-konflik tersebut belum selesai.