Jalan sepanjang lebih kurang 30 kilometer di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, yang berada dekat perbatasan Timor-Leste, rusak berat. Proses perbaikan jalan yang masuk kategori proyek strategis nasional itu pun dinilai sangat lamban, yakni hanya 4 kilometer per tahun. Tokoh adat dan tokoh agama setempat berharap secepatnya dituntaskan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
BETUN, KOMPAS — Jalan sepanjang lebih kurang 30 kilometer di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, yang berada dekat perbatasan Timor-Leste, rusak berat. Proses perbaikan jalan yang masuk kategori proyek strategis nasional itu dinilai sangat lamban, yakni hanya 4 kilometer per tahun. Tokoh adat dan tokoh agama setempat berharap secepatnya dituntaskan.
Menurut pantauan Kompas pada Rabu (17/7/2019), jalan aspal yang pertama kali dibangun pada 1993 sebagian besar terkelupas. Di beberapa ruas tidak ada bekas aspal dan berubah menjadi kubangan lumpur. Kecepatan kendaraan yang melintas di jalan rusak itu paling tinggi 15 kilometer per jam. Parahnya lagi, kondisi jalan rawan kecelakaan.
Jalan rusak itu mulai dari Desa Nurobo, Kecamatan Laenmanen sampai Desa Umasukaer di Kecamatan Malaka Tengah. Selain dua kecamatan itu, jalan sepanjang lebih kurang 30 kilometer tersebut juga merupakan akses untuk tiga kecamatan lainnya, yakni Lokofeu, Botin Leobele, dan Sasitamean.
Jalan rusak tersebut menghubungkan Jalan Timor Raya dengan Betun, ibu kota Kabupaten Malaka. Jalan Timor Raya merupakan jalan utama dari Kupang, ibu kota Provinsi NTT, ke Dili, ibu kota negara Timor-Leste. Belasan ribu orang bergantung pada akses jalan tersebut.
Ini merupakan jalan strategis nasional.
Sejak pertama kali dikerjakan tahun 1993, jalan tersebut belum diperbaiki secara tuntas. Perbaikan hanya dilakukan pada beberapa titik terparah menggunakan aspal. Namun, ada pula di titik tertentu, warga dengan sukarela menimbun tanah dan kerikil agar bisa dilewati kendaraan pada musim hujan.
”Kalau musim hujan, jalan licin sekali. Mobil tidak bisa mendaki. Kami biasanya tabur pasir di jalur yang dilewati ban,” tutur Pace Milo (25), kondektur bus rute Kupang-Malaka yang melewati jalur tersebut.
Pace lalu menunjukkan video saat penumpang loncat dari bus ketika bus tidak bisa mendaki karena jalan licin. Sering terjadi kecelakaan di jalan itu.
Tokoh adat Malaka Anderias Tae berharap agar jalan tersebut segera dituntaskan pembangunannya. Kondisi jalan yang buruk sangat menghambat mobilitas manusia dan barang komoditas.
”Sebagai masyarakat yang tinggal di perbatasan negara, kami juga ingin menikmati hasil pembangunan yang layak, seperti yang dinikmati warga di daerah lain,” ujarnya.
Kendati demikian, Anderias meyakini, Presiden Joko Widodo yang menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembangunan di wilayah bagian timur Indonesia, termasuk NTT, pada gilirannya akan memperhatikan perbaikan jalan di Malaka.
Kami yakin, kalau Pak Presiden tahu kondisi jalan ini, beliau akan memerintahkan untuk diperbaiki secepatnya.
Sementara itu, tokoh agama setempat, Romo Philipus Benso Metom Pr, mengatakan, jika akses jalan tersebut diperbaiki, ekonomi lokal akan semakin bergairah. Wilayah yang dilewati jalan tersebut kaya akan hasil kebun, seperti siri, pinang, dan kemiri, serta sayuran. Komoditas itu dipasarkan ke Betun dan Atambua, ibu kota Kabupaten Belu.
”Dengan kondisi jalan yang sekarang ini, banyak sayur dan buah yang dibawa ke kota rusak di tengah jalan. Padahal, berbagai komoditas itu dari kampung di pegunungan ini menjadi andalan untuk menopang ekonomi masyarakat. Uang hasil menjual komoditas ini dipakai untuk membiayai pendidikan anak-anak,” tutur Benso.
Saat ini pembangunan jalan mulai dikerjakan. Namun, berdasarkan pengalaman, dalam satu tahun proses pengerjaan jalan tidak lebih dari 4 kilometer. Dari papan proyek tertulis bahwa proyek pembangunan itu dikerjakan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum. Nilai proyek sebesar Rp 15 miliar.
Krisis air bersih
Selain jalan rusak, banyak desa di jalur tersebut mengalami krisis air. Di Desa Kateri, Kecamatan Malaka Tengah, antrean jeriken dan ember diletakkan di dekat sumber air. Sejak malam warga sudah mulai mengantre. Begitu pula anak-anak sekolah harus berjalan kaki ke kampung terdekat untuk mengambil air.
Kondisi ini dari dulu belum ada perubahan. Padahal, pejabat di daerah ini sering lewat di sini. Kami bingung harus mengadu kepada siapa lagi.
Sejumlah proyek air bersih di daerah itu juga terbengkalai. Ada jaringan pipa dan bak, tetapi tidak ada air.