Lebih dari sekadar simbol, angka 0 menjadi indikator berlegitimasi bagi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk menetapkan Manado sebagai kota terkotor di Indonesia pada 2018.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Angka 0 (nol) menjadi perbincangan warga Manado, Sulawesi Utara, pada tahun 2018. Angka itu memantapkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menetapkan Manado sebagai kota terkotor di Indonesia dalam penilaian Adipura 2018, piala prestisius yang banyak dikejar pemerintah daerah.
Terlepas dari kondisi kebersihan seantero kota saat itu, nilai 0 muncul lantaran pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumompo, Kelurahan Buha, Mapanget, tidak lagi sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Alih-alih ditimbun tanah dengan metode sanitary landfill, ratusan ribu ton sampah dibiarkan menggunung di ruang terbuka.
Apapun alasan pemerintah kota saat itu, entah karena sedang dalam perbaikan atau faktor lain, penilaian adalah penilaian. Jatuhlah angka 0 untuk kategori pengelolaan sampah (persampahan). Pupus sudah harapan menggaet piala bergengsi itu.
Saat itu, lahan TPA Sumompo seluas 13 hektar tak lagi mampu menampung 350-400 ton sampah domestik warga Manado setiap hari, yang setara 60 bak truk penuh sampah. Solusi sementara ditempuh, salah satunya dengan menggalakkan lagi bank sampah di tingkat warga.
Warga Ranotana Weru, Kecamatan Wanea, misalnya, terus membiasakan diri memilah dan memilih sampah untuk mengurangi muatan sampah mereka ke TPA Sumompo. Sampah yang bernilai jual, seperti kardus, kertas, kotak karton susu, botol plastik, serta botol kaca, dikumpulkan untuk ditukarkan dengan uang di Bank Sampah Paradais milik seorang warga, Ferly Kokong.
Johnny Kokong (48), kakak Ferly, turut membantunya menerima sampah setoran warga. ”Ada warga yang punya buku (tabungan), ada juga yang tidak. Waktu mengumpulkan sampah, harga sampah akan dicatat di buku (tabungan) untuk diambil nantinya. Yang bukan anggota (nasabah) juga tetap bisa,” kata Johnny di Bank Sampah Paradais, Rabu (17/7/2019).
Johnny mencontohkan, warga penyetor sampah bisa mendapatkan Rp 600-Rp 700 untuk setiap kilogram kardus. Biasanya penyetor bisa mendapatkan Rp 30.000 dalam sehari. ”Lumayan untuk belanja buat yang bukan anggota,” lanjut Johnny.
Setelah terkumpul, sampah bersih itu akan dijual Ferly dan Johnny kepada salah satu pengepul di daerah Wawonasa, Kecamatan Singkil, untuk kemudian dijual ke perusahaan daur ulang. Dalam sebulan, Ferly dan Johnny bisa untung Rp 1 juta, sudah dipotong biaya transportasi sampah dengan truk.
Pekerjaan mengumpulkan sampah dari warga ini sebenarnya sudah dijalankan Ferly sejak 2001. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Manado sempat mengadakan sosialisasi bank sampah bagi warga. Kini sudah ada sekitar 80 nasabah Bank Sampah Paradais, termasuk beberapa pemilik toko kelontong.
Namun, sejauh ini hanya belasan nasabah yang rutin terlihat menyetorkan sampah kepada Ferly dan Johnny. ”Mengembangkan ketertarikan warga juga tidak mudah,” katanya.
Kepala Seksi Penanganan dan Pengurangan Sampah DLH Manado Lieke Kembuan membenarkan hal ini. Semangat warga untuk memanfaatkan bank sampah, yang kini tengah redup, sedang dihidupkan kembali.
”Dari 29 bank sampah di Manado, yang aktif hanya 10 bank. Beberapa ada di area kelurahan, kantor kecamatan, sekolah, dan di sini (kantor DLH). Idealnya ke-87 kelurahan di Manado punya bank sampah. Tetapi, yang ada sekarang akan kami maksimalkan dulu,” kata Lieke.
Berbagai insentif juga telah direncanakan DLH, seperti kerja sama dengan PT Pegadaian untuk membuka tabungan emas dari tabungan bank sampah. ”Ada warga yang bisa menghasilkan Rp 600.000 sebulan. Itu sudah bisa untuk beli 1 gram emas,” ujarnya.
DLH juga berusaha menangani permasalahan sampah mulai dari halaman rumah warga. Warga didorong untuk menggunakan tong komposter untuk membuat pupuk kompos. Ember dekomposter juga mulai diperkenalkan kepada warga.
”Ember dekomposter ini baru di Manado. Ukurannya hanya selebar satu tegel sehingga tidak butuh banyak ruang di dalam tanah taman depan rumah. Warga bisa membuang sisa makanan ke ember ini sampai terurai sendiri,” kata Lieke.
Upaya lebih besar
Upaya-upaya itu tak lain untuk mengurangi sampah yang masuk ke TPA Sumompo. Lieke mengatakan, DLH memperkirakan, masa pakai TPA di sisi utara Manado itu tinggal dua tahun.
Perkiraan itu dengan asumsi TPA Regional Iloilo di Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara, telah selesai dibangun. Nantinya sampah dari Manado, Bitung, Minahasa, dan Minahasa Utara akan ditampung di sana.
”Tempat itu nanti dikelola oleh provinsi dan swasta. Kabupaten dan kota akan dikenai biaya masuk Rp 77.000 per ton sampah. Karena itu, kami tetap harus cari cara lain untuk mengurangi sampah,” kata Lieke.
Permasalahan ini telah menjadi perhatian Wali Kota Manado Vicky Lumentut. Nilai 0 pada penilaian Adipura 2018 menjadi teguran besar. Ia berharap TPA Regional Iloilo yang jauh lebih luas, yaitu 46 hektar, bisa segera jadi dan berfungsi. Nantinya akan dibangun pula stasiun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di sana.
Vicky juga menyatakan akan membangun lebih banyak bank sampah. ”Selain itu, kami akan mengadakan insinerator (pembakar sampah) di tiga kecamatan,” katanya.
Lieke membenarkan rencana tersebut. Insinerator itu telah dianggarkan dalam APBD Manado tahun 2019 dan akan ditempatkan salah satunya di Kecamatan Malalayang. Sampah yang bisa dibakar hanyalah sampah organik, seperti sisa makanan dan tanaman.
”Pembakaran harus di atas 800-1.200 derajat celsius supaya sampah benar-benar jadi abu. Nantinya alat itu akan dicek emisinya setiap tiga bulan sekali,” katanya.
Saat ini, TPA Sumompo masih harus terus menampung ratusan ton sampah setiap hari. Tempat yang dulunya jurang itu kini telah menjadi bukit sampah yang saling tercampur.
Kepala TPA Sumompo Carlos Mawuntu mengatakan, sudah tidak ada lagi ruang untuk menggali sanitary landfill. Penanganan sementara dengan cara controlled landfill.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sulut Steve Kepel mengatakan, mau tidak mau Kota Manado harus bertahan dengan TPA Sumompo. ”Jika surat diskresi Menteri Agraria dan Tata Ruang sudah keluar, pembangunan TPA Regional Ilolo bisa dimulai 2020,” katanya.
Predikat kota terkotor tak hanya menimbulkan rasa malu birokrasi, tetapi juga menjadi pelajaran berharga bagi warga Manado. Segala upaya yang mungkin dilakukan akan dicoba, termasuk mengurangi sampah mulai dari rumah warga. Tanpa keterlibatan warga, segala daya upaya mengelola sampah tidak akan maksimal.
Jangan lagi ada angka nol dalam pengelolaan sampah di Kota Manado, kota terbesar kedua di Pulau Sulawesi. Sekali lebih dari cukup.