Operasi cepat penanganan kebakaran di Kalimantan Tengah belum berjalan optimal karena terbentur aturan. Di satu sisi, kebakaran terus terjadi dan instrumen pencegahan seperti sumur bor belum digunakan untuk pembasahan sebelum terjadi kebakaran. Padahal, anggaran untuk operasi ini di Kalteng mencapai Rp 2,4 miliar.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Operasi cepat penanganan kebakaran di Kalimantan Tengah belum berjalan optimal karena terbentur aturan. Di satu sisi, kebakaran terus terjadi dan instrumen pencegahan seperti sumur bor belum digunakan untuk pembasahan sebelum terjadi kebakaran. Padahal, anggaran untuk operasi ini di Kalteng mencapai Rp 2,4 miliar.
Hal itu dijelaskan Deputi Konstruksi, Operasi, dan Pemeliharaan Badan Restorasi Gambut (BRG) RI Alue Dohong di sela-sela Dialog Nasional Pemindahan Ibu Kota Negara, Kalimantan untuk Indonesia dengan tema ”Menuju Ibu Kota Masa Depan: Smart, Green, Beautiful, dan Sustainable”, di Palangkaraya, Jumat (19/7/2019).
”Saya sudah instruksikan teman-teman di Dinas Lingkungan Hidup untuk dioperasikan itu sumur bor, biarpun belum ada kebakaran. Menurut mereka sih sudah mulai,” kata Alue Dohong.
Alue menambahkan, dalam operasi penanganan kebakaran terdapat dua tindakan, pertama adalah operasi cepat pembasahan lahan gambut rawan kekeringan, dan kedua adalah operasi cepat pemadaman gambut terbakar di daerah restorasi.
Saya sudah instruksikan teman-teman di Dinas Lingkungan Hidup untuk dioperasikan itu sumur bor, biarpun belum ada kebakaran. Menurut mereka sih sudah mulai.
”Jadi, dalam operasi penanganan kebakaran kalau lokasi kebakaran tidak ada sumur bor, bisa dibangun baru di sana. Dananya ada,” kata Alue.
Kabut mulai menyelimuti
Sampai saat ini, kabut asap tipis mulai menyelimuti Kota Palangkaraya dan sekitarnya. Pantauan Kompas, pada Jumat pagi, warga mulai beraktivitas menggunakan masker wajah.
Di Jalan Mahir-Mahar dan Jalan Tjilik Riwut asap terlihat cukup tebal. Meskipun demikian, jarang pandang masih belum terganggu.
Selama Kamis (18/7/2019), sedikitnya terjadi tujuh kebakaran selama 24 jam. Data Pusat Pengendalian dan Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops) Provinsi Kalteng, menunjukkan, selama Juli sudah terjadi 137 kebakaran di Kalteng degan total luas lahan terbakar mencapai 389,5 hektar.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Mofit Saptono bersyukur jika terdapat anggaran untuk pembangunan sumur baru di lokasi kebakaran yang jauh dari sumur bor. Ia pun belum mengetahui secara pasti mekanisme penggunaan anggaran tersebut.
Menurut Mofit, laporan masuk dari regu pemadam kebakaran di lapangan menemukan sumur bor yang tidak berfungsi. ”Meskipun demikian, sampai saat ini kebakaran masih bisa dikendalikan. Kami berharap tidak perlu sampai meminta helikopter ke pusat,” ujar Mofit.
Mofit menambahkan, laporan sumur bor yang rusak sampai saat ini masih didata. Ia berharap sumur bor yang tidak berfungsi bisa direkondisi.
Terbentur aturan
Kepala Seksi Pengendalian Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Merty Ilona menjelaskan, anggaran yang ada dari BRG hanya bisa digunakan dalam kondisi tertentu. Beberapa kondisi tersebut adalah dalam waktu seminggu tidak turun hujan, ketinggian muka air tanah di bawah 0,4 meter, dan hanya berada di dalam peta indikatif gambut yang dibuat BRG.
”Itu totalnya tidak Rp 2,4 miliar, tetapi karena ada pemeliharaan dan ada pengembalian ke pusat itu anggarannya jadi Rp 700 juta saja. Itu pun kami sudah mulai ke masyarakat untuk cairkan itu sesuai kondisi, karena tadi malam hujan, maka ditunda lagi,” kata Merty.
Merty menjelaskan, penggunaan anggaran itu memang bisa dibuatkan sumur bor di lokasi baru sesuai dengan peta indikatif BRG. Namun, tetap harus dilakukan oleh masyarakat.
Itu totalnya tidak Rp 2,4 miliar, tetapi karena ada pemeliharaan dan ada pengembalian ke pusat itu, anggarannya jadi Rp 700 juta saja. Itu pun kami sudah mulai ke masyarakat untuk mencairkan itu sesuai kondisi. Karena tadi malam hujan, maka ditunda lagi.
Khusus untuk perawatan, kelompok masyarakat atau Masyarakat Peduli Api (MPA) di bawah naungan BRG ataupun DLH Provinsi Kalteng diberikan upah harian sebesar Rp 250.000 per orang dan bahan bakar 40 liter. Itu juga sudah pernah digunakan untuk pemeliharaan.
”Termasuk pembasahan, untuk penggunaan anggaran itu harus melihat kondisinya supaya tidak terbentur aturan. Bagaimanapun juga ini APBN jangan sampai nanti terjadi kesalahan. Jadi, uangnya tidak bisa sembarangan dikasih gitu saja,” kata Merty.