Kebudayaan Batak terancam punah karena tidak lagi dihidupi dan dihayati komunitas masyarakatnya. Sejumlah produk budaya seperti ulos, musik tradisional, seni, dan adat-istiadat lain semakin ditinggalkan. Bahkan, penutur bahasa Batak pun kian langka.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kebudayaan Batak terancam punah karena tidak lagi dihidupi dan dihayati komunitas masyarakatnya. Sejumlah produk budaya seperti ulos, musik tradisional, seni, dan adat istiadat lain semakin ditinggalkan. Bahkan, penutur bahasa Batak pun kian langka.
”Penutur bahasa Batak sudah semakin sedikit, bahkan di perkampungan Batak di kawasan Danau Toba. Berangkat dari kegelisahan ini, kami membentuk Yayasan Pelestari Kebudayaan Batak (YPKB),” kata Ketua Umum YPKB Albiner Siagian dalam acara pengukuhan pengurus YPKB di Museum Negeri Sumatera Utara, Medan, Minggu (21/7/2019).
Turut hadir dalam acara itu Sekretaris Umum YPKB Tansiswo Siagian, mantan Ephorus Huria Kristen Batak Protestan Pendeta WTP Simarmata, dan Guru Besar Universitas Negeri Medan Hamonangan Tambunan.
Albiner yang juga Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara itu mengatakan, anak-anak di kawasan Danau Toba kini semakin sedikit yang bisa berbahasa Batak. Padahal, beberapa generasi sebelumnya menggunakan bahasa Batak untuk bahasa percakapan sehari-hari. Kala itu, masyarakat tetap menggunakan bahasa Indonesia, khususnya di sekolah dan instansi pemerintahan.
YPKB, kata Albiner, berfokus mengembalikan bahasa Batak dalam percakapan sehari-hari. ”Bahasa merupakan benteng terakhir kebudayaan. Jika bahasa Batak punah, kebudayaan lainnya juga akan ditinggalkan seperti aksara Batak, umpasa (pantun), adat istiadat, dan musik tradisional,” katanya.
Ketua Dewan Pembina YPKB Jim Siahaan mengatakan, musik tradisional Batak saat ini juga semakin ditinggalkan. Menurut dia, lebih dari 80 persen partitur gondang Batak sudah punah dan tidak pernah lagi diperdengarkan. Saat ini hanya tersisa partitur-partitur populer yang banyak diperdengarkan di pesta adat pernikahan ataupun pemakaman.
Lebih dari 80 persen partitur gondang Batak sudah punah dan tidak pernah lagi diperdengarkan.
Selain itu, kata Jim, konsep kebudayaan ulos juga kian tergerus. Ulos masih digunakan dalam upacara adat, tetapi jenis, kualitas, dan nilai-nilai dalam ulos terus tergerus. Diperkirakan ada lebih dari 100 jenis ulos, tetapi sebagian besar sudah punah karena tidak ada lagi yang menenun dan menggunakannya.
Jim mengatakan, ulos mesti dipahami tidak sebatas fisiknya, tetapi juga konsep budaya yang melingkupinya sebagai bagian dari kehidupan orang Batak. Ulos merupakan lambang kasih sayang yang menguatkan badan dan tondi (jiwa) seseorang. Ulos tidak terpisahkan dalam ritus kehidupan orang Batak sejak lahir hingga meninggal.
Warga membeli ulos di Pasar Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Rabu (17/7/2019). Ada lebih dari 100 jenis motif ulos, tetapi sebagian besar sudah hilang karena tidak digunakan dalam upacara adat.Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara Hidayati, dalam sambutan tertulisnya, mengatakan, komunitas pelestari kebudayaan sangat penting untuk mengampanyekan kembali kebudayaan Batak agar dihidupi dan dihayati masyarakatnya. ”Kebudayaan Batak menyimpan nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan,” katanya.
Peran pendidikan orangtua kepada anak-anaknya, menurut Hidayati, sangat penting untuk menghidupkan kembali kebudayaan Batak. Generasi muda kini tak lagi menggunakan bahasa Batak dalam kehidupan sehari-hari karena dianggap tidak gaul atau bahkan kuno. Generasi muda harus diberikan pemahaman agar bangga dalam melestarikan kebudayaannya.
Perkampungan Batak tampak di Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Rabu (17/7/2019). Modernitas membuat kebudayaan Batak kian lama kian tergerus. Penutur bahasa Batak pun semakin sedikit di perkampungan Batak.