Eceng Gondok di Danau Tondano Tak Kunjung Teratasi
Hamparan eceng gondok yang mengganggu kegiatan masyarakat di Danau Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara, tak kunjung terselesaikan. Pendangkalan danau juga kian terasa. Pemerintah pun menyiapkan rencana pengelolaan danau.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA, KOMPAS – Hamparan eceng gondok yang mengganggu kegiatan masyarakat di Danau Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara, tak kunjung terselesaikan. Pendangkalan danau juga kian terasa. Pemerintah pusat dan daerah telah membentuk Rencana Pengelolaan Danau Tondano untuk mencegah keadaan danau semakin parah.
Tepi Danau Tondano dipenuhi oleh eceng gondok, seperti di tempat pelelangan ikan Desa Talikuran, Kecamatan Remboken. Hamparan hijau tersebut menutupi pinggiran danau yang sudah dangkal dengan tanah. Perahu-perahu ramping dari kayu milik para nelayan terjebak di tengah eceng gondok yang juga tumbuh hingga di samping kiri kanan rumah warga desa.
“Sekarang angin datang dari selatan, sehingga eceng gondok dari sana terbawa ke sini semua. Sangat lebat sehingga susah mau kasih keluar perahu,” kata Farly Kairupan (51), salah satu nelayan, Minggu (21/7/2019).
Eceng gondok juga sering menyebabkan Farly rugi. Beberapa kali, jaring pukat yang dipasangnya di tengah danau dengan cagak bambu terlepas karena tersangkut eceng gondok yang terbawa angin. “Ikan yang saya tangkap adalah mujair yang ukurannya sebesar lengan saya sekitar 15 sentimeter. Kalau kena eceng gondok, pukat lepas, ikan lepas juga,” keluhnya.
Sekarang angin datang dari selatan, sehingga eceng gondok dari sana terbawa ke sini semua. Sangat lebat sehingga susah mau kasih keluar perahu
Tumbuhnya eceng gondok juga membuktikan tepi danau yang sudah semakin dangkal, kini hanya 20 sentimeter (cm). Sekitar 10 tahun lalu, kedalaman tepi danau masih 2-3 meter. Akibatnya, Erny (62), warga Desa Peleloan, Kecamatan Tondano Selatan, kesulitan menambah jumlah ikan untuk dibudidayakan di keramba miliknya.
“Dulu, kalau mau ambil ikan, di tepi danau saja masih mudah. Sekarang mesti jauh ke tengah. Menambah ikan (budidaya) dari tangkapan jadi susah. Apalagi, cari pinjaman KUR (kredit usaha rakyat) untuk beli bibit juga tidak dapat,” ujar Erny.
Verro (26), pegawai unit pengolahan ikan CV Bintang Mujur Abadi di Desa Urongo, Tondano Selatan, juga mengatakan pasokan ikan payangka kodok semakin sedikit akibat dari nelayan sekitar. Meskipun sudah dibersihkan warga, eceng gondok segera tumbuh lagi.
Wisata katinting (perahu) di area pemandian air panas Sumaru Endo, Desa Leleko, Kecamatan Remboken, yang dikelola pemerintah Provinsi Sulut tak lagi menarik bagi warga akibat eceng gondok. Akibatnya, pemasukan dari wisata perahu sebesar Rp 20.000 per orang berkurang drastis. “Kami sudah kasih bersih danau dari eceng gondok, tetap saja tumbuh lagi karena terbawa angin,” katanya.
Bukan masalah baru
Permasalahan ini tidak baru. Catatan Kompas (28/4/2017), danau seluas 4.278 hektar itu ditutupi eceng gondok seluas 400 hektar. Data Dinas Lingkungan Hidup Minahasa terkini, luas danau yang tertutup eceng gondok sekitar 10 persen, yaitu 315 hektar.
Dihubungi dari Minahasa, Kepala Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDasHL) Tondano Rukma Dayadi mengatakan, penyebab tumbuhnya eceng gondok secara berlebihan adalah eutrofikasi. Artinya, kandungan unsur hara di air danau sangat tinggi.
“Terlalu banyak unsur hara dari pakan ikan budidaya dan pupuk dari pertanian di sekitar danau. Itu yang menyebabkan eceng gondok tumbuh pesat sekali,” kata Rukma.
Danau Tondano berbentuk seperti mangkuk, yaitu cekungan yang dikelilingi bukit. Kini, sedimentasi menciptakan dataran di tepian danau. Dataran tersebut difungsikan sebagai sawah, kebun, dan permukiman. Rumah-rumah warga, yang permanen maupun semi permanen, juga diduga menjadi sumber limbah yang mengandung bakteri Escherichia coli.
Namun, eceng gondok hanya tumbuh di tepian danau saja. Penyebabnya adalah sedimentasi ke danau akibat kerusakan di daerah tangkapan air. Dengan laju sedimentasi rata-rata 47 cm setahun, kedalaman danau saat ini hanya 14 meter. Pada 1940, menurut catatan pemprov Sulut, kedalaman danau sekitar 43 meter.
Diperkirakan, Danau Tondano bisa lenyap dalam waktu kurang dari 30 tahun. Karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memasukkan Danau Tondano dalam daftar danau kritis yang diprioritaskan untuk direvitalisasi.
Rukma masih bisa bersikap positif dengan keadaan saat ini. “Tapi, kalau tidak ada kemauan kuat, bisa-bisa beberapa tahun lagi semua permukaan danau ditumbuhi eceng gondok. Jangan sampai rusak, karena Danau Tondano memiliki peran vital untuk membangkitkan tenaga listirk, irigasi sawah, dan pasokan air bersih untuk kota seperti Manado,” kata Rukma.
Susun rencana
Asisten 2 Bidang Perekonomian dan Pembangunan Kabupaten Minahasa Wilford Siagian mengatakan, pemkab Minahasa telah menyusun rencana pengelolaan Danau Tondano yang disebutnya masterplan. Hal ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan Bupati Minahasa Royke Roring dengan Presiden Joko Widodo pada awal Juli lalu di Minahasa.
“Nanti akan ada jangka pendek, menengah, dan panjang. Masterplan ini telah dimasukkan APBD Perubahan tahun ini dengan dana Rp 500 juta. Kami belum bicara spesifik jangka waktunya sampai kapan, pokoknya secara maksimal agar Danau Tondano tetap lestari,” katanya.
Untuk sementara, kata Wilford, pemkab terus membersihkan eceng gondok setiap hari di Danau Tondano. Di area danau, ada tiga ekskavator dengan lengan pengeruk panjang. Namun, ini tidak bisa menyaingi kecepatan tumbuhnya eceng gondok.
“Apalagi, biaya BBM kan cukup tinggi. Kami terus butuh bantuan dari pemerintah provinsi dan pusat. Makanya, masterplan kami buat dengan pendekatan kolaboratif.