Sepuluh bulan pascagempa, masih banyak siswa belajar di tenda darurat di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Kegiatan belajar tak terlalu efektif karena panas dan sesak. Pemerintah beralasan masa perbaikan sekolah mengikuti rentang waktu rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa di Sulteng, yakni dua tahun.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Sepuluh bulan pascagempa, masih banyak siswa belajar di tenda darurat di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Kegiatan belajar tak terlalu efektif karena panas dan sesak. Pemerintah beralasan masa perbaikan sekolah mengikuti rentang waktu rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa di Sulteng, yakni dua tahun.
Padahal akibat gempa, paling tidak ada 200 sekolah yang rusak di Kota Palu, meski ada yang sudah diperbaiki, dan masih banyak dalam perbaikan. Salah satu sekolah yang masih menggunakan tenda darurat untuk kegiatan belajar-mengajar adalah Sekolah Dasar Negeri Pengawu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, Sulteng.
Pantauan pada Selasa (23/7/2019), ada delapan tenda darurat yang dipakai. Tenda-tenda itu dibangun dengan material yang bervariasi. Ada tenda yang dibangun dari bambu dengan dinding setinggi 1 meter dengan atap terpal. Ada ruang kelas yang dibangun dari papan lapis dengan atap rumbia.
Karena panas, para siswa cepat pulang rumah. Harusnya mereka pulang pukul 11.00 Wita, tetapi selama ini pulang sekitar pukul 10.00 Wita.
Ruang kelas tersebut dibangun di halaman SDN Pengawu. Kegiatan dilaksanakan di tenda darurat karena ruang kelas yang rusak. Dinding dan lantai ruang kelas retak-retak. Kegiatan belajar-mengajar di tenda dilakukan sejak gempa bumi terjadi. Tenda-tenda darurat tersebut digunakan para siswa kelas I, kelas II, dan kelas III dengan ukuran panjang 10 meter x 10 meter.
Irmayanti, guru kelas IIC SDN Pengawu, menuturkan, kegiatan belajar-mengajar hanya efektif sampai pukul 10.00 Wita, terutama di tenda darurat yang beratap terpal. ”Karena panas, para siswa cepat pulang rumah. Harusnya mereka pulang pukul 11.00 Wita, tetapi selama ini pulang sekitar pukul 10.00 Wita,” kata Irmayanti saat ditemui di salah satu tenda darurat beratap terpal.
Sebelum gempa pada 28 September 2018, kelas yang diasuh Irmayanti menyelenggarakan belajar-mengajar pada siang hari. Setelah gempa, tak ada lagi bejalar-mengajar siang.
Ada dua tenda darurat yang beratap terpal. Tinggi atap dari lantai beton kasar 4 meter. Saat Kompasberada di dalam tenda darurat beratap terpal tersebut selama sekitar 5 menit, panas sangat terasa.
Tak hanya dari terpal, panas matahari juga dipancarkan dari samping tenda yang dindingnya hanya setinggi 1 meter. Kondisi panas tersebut tidak terlalu terasa di ruang kelas yang beratap rumbia.
Selain masalah panas, kegiatan belajar-mengajar juga sedikit terganggu dengan sesaknya murid di ruang kelas. Ada tenda darurat yang ditempati 60 murid. Padahal, idealnya tenda tersebut hanya untuk tak lebih dari 30 murid.
Irmayanti menyatakan, dirinya mendengar rencana perbaikan ruang kelas. Namun, belum dijelaskan kapan hal itu dilakukan. ”Kami berharap ruang kelas rusak segera diperbaiki. Sektor pendidikan seharusnya menjadi salah satu prioritas penanganan setelah gempa,” ujarnya.
Pakai terpal
Kondisi hampir sama terlihat di Madrasah Tsanawiyah Negeri 3 Palu. Ruang-ruang kelas dibangun dari kalsiboard setinggi 1 meter dengan atap terpal setinggi 4 meter dari lantai beton kasar. Panas mulai terasa sekitar pukul 10.00 Wita. Kalau sangat panas, kegiatan belajar dipindahkan ke bawah pohon.
Bangunan sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri 3 Palu rusak parah karena gempa dan sebagiannya hancurnya kerena likuefaksi di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan. Ruang kelas darurat saat ini dibangun di tanah lapang di Kelurahan Birobuli Selatan, Palu Selatan, dengan bantuan dari sebuah yayasan. Kemungkinan sekolah itu direlokasi karena sangat dekat dengan bekas likuefaksi Petobo.
Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri 3 Palu Munira Labalado menyatakan, selama ini kegiatan pemelajaran tetap berjalan lancar dalam kondisi serba kekurangan. Namun, ia berharap sekolah segera ada dibangun kembali. Pihaknya belum mengetahui sampai kapan kegiatan belajar-mengajar berlangsung di tenda. ”Kami meminta pemerintah untuk memberikan kepastian, baik lokasinya maupun bangunan baru sekolah,” katanya.
Kami meminta pemerintah untuk memberikan kepastian, baik lokasinya maupun bangunan baru sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu Ansyar Sutiadi beberapa waktu lalu menyatakan, dari 200-an sekolah yang rusak separuhnya sudah dan sedang diperbaiki. Sisanya lagi masih menunggu anggaran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lembaga sosial atau yayasan, selain dari APBD Kota Palu. ”Targetnya, kan, dua tahun mengikuti target nasional atau target umum (rehabilitasi dan rekonstruksi),” katanya.
Penanganan pascagempa di Sulteng memasuki tahap rehabilitasi-rekonstruksi. Pemerintah menetapkan dua tahun atau hingga 2020, semua perbaikan infrastruktur rampung dilakukan.