Senyum dan Tangis Selusuri Sejarah Kereta Api Pertama Indonesia
Perjalanan naik kereta api itu lebih romantis. Ini kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di Stasiun Waja, Kabupaten Purworejo, yang berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, 24 April 2019 lalu.
Perjalanan naik kereta api itu lebih romantis. Ini kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di Stasiun Waja, Kabupaten Purworejo, yang berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, 24 April 2019 lalu.
Sementara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan, stasiun dan kereta api adalah tempat berkumpulnya banyak orang dari berbagai lapisan dan latar belakang sehingga cukup efektif untuk kampanye antikorupsi. Hal itu dikatakannya dalam kampanye antikorupsi di Stasiun Cirebon, Jawa Barat, Minggu, 13 Agustus 2017 lalu.
Lewat kereta api, kata Saut Situmorang, bisa diukur kemajuan negeri ini. Dulu, kereta api adalah simbol kekumuhan, tetapi sekarang, kereta itu bersih, nyaman, dan tepat waktu. ”Pembangunan peradaban ada di kereta api ini,” ujarnya lagi.
Presiden RI pertama Soekarno atau Bung Karno mengatakan hal yang sama. Stasiun dan kereta api adalah tempat berkumpulnya massa. Di sinilah, kata Bung Karno, tempat yang menguntungkan untuk menaburkan benih nasionalisme. Bung Karno pernah bekerja di Stasiun Kereta Api Belanda di Surabaya, Stasiun Gubeng, tahun 1921-1922.
Saya sedikit menghayati kata-kata ketiga tokoh itu karena sejak tahun 2017-2019 (Juli), saya telah beberapa kali melintasi sekitar 500 stasiun besar dan kecil di Pulau Jawa. Pada tahun 2019 (sampai Juli), saya adalah salah satu dari 425 juta penumpang yang diangkut kereta api selama tahun itu. Lebih dari satu setengah kali jumlah penduduk Indonesia yang 264 juta orang.
Dari segi ini, transportasi kereta api adalah moda angkutan terbesar di Indonesia. Bayangkan, tiap hari sekitar 1,5 juta lebih orang naik kereta api di Jawa. Dari perjalanan ini, saya menyusun buku perjalanan melintasi 1.000 stasiun di seluruh Indonesia.
Rabu, 3 Juli 2019, saya menyusuri sistem kereta api pertama di Indonesia yang dibangun oleh pengusaha perkebunan Belanda, W Poolman dan perusahaannya, Naamloze Vennootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV NISM atau NISM) di Jawa Tengah. Jalur itu dibangun hampir selama 10 tahun, antara 1864 dan 1873.
Rutenya adalah Yogyakarta, Klaten, Sukoharjo, Solo, Gundih, Kedungjati, Tanggung, dan Semarang. Rute yang paling awal dibangun adalah jalur antara Semarang-Stasiun Tanggung (Grobogan). Ruas jalur ini sekitar 25 kilometer dan dibangun antara tahun 1864 dan 1867. Peluncuran kereta api pertama Semarang-Tanggung pada 10 Agustus 1864.
Sejak gagasan atau ide untuk membangun jalur itu sampai awal realisasi pembangunan, dibutuhkan waktu hampir empat tahun setelah perdebatan panjang, polemik penuh intrik politik di Belanda maupun di Jawa. Poolman mendapat konsesi membangun pada 1862, dua tahun setelah proposalnya diajukan ke Pemerintahan Kerajaan Belanda tahun 1860.
NISM didirikan oleh Poolman dan kawan-kawannya tahun 1863, satu tahun setelah konsesi diberikan (kepada Poolman secara individu). Konsesi berlaku 99 tahun atau sejak diberikan sampai tahun 1971. Namun, tahun 1958 konsesi itu tidak berlaku lagi di Indonesia setelah pemerintah Bung Karno memberlakukan nasionalisasi.
Sejak konsesi diberikan untuk Poolman sampai proses pembangunan berjalan, kritik pers Belanda sangat gencar saat itu. Banyak kelompok konservatif Belanda menentang pembangunan ini diberikan kepada pihak swasta. Mereka menentang sarana kepentingan umum dijalankan oleh swasta.
Kaum konservatif di Belanda khawatir, Jawa akan dibanjiri swasta dari segala penjuru Eropa, seperti Inggris, Spanyol, Perancis, dan Portugis. Jawa akan dijajah lagi oleh perusahaan swasta lagi, seperti masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) 1602-1799 atau hampir dua abad. Dugaan para konservatif benar. Sejak pembangunan ini, muncul 11 perusahaan kereta api swasta Belanda di Jawa saat itu.
Sepuluh tahun kemudian, Pemerintah Hindia Belanda baru mendirikan perusahaan kereta api di Jawa, Staatsspoorwegen (SS). Transportasi kereta api menggantikan jalan raya yang dibangun Gubernur Jenderal Marsekal Herman Willem Daendels tahun 1808 -1811. Di masa pemerintah Soeharto, banyak jalur kereta api ditutup atau dikecilkan, diganti dengan jalan tol yang membuka arus deras mobil.
Tidak semudah seperti membalikkan tangan untuk merealisasi pembangunan sistem kereta api pertama di Jawa Tengah sekitar 155 tahun lalu itu. Ini mengingatkan saya ketika diundang makan siang Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, 10 Agustus 2016 lalu.
Di tengah pembahasan masalah Blok Masela di Maluku Tenggara, saya bertanya tentang program pembangunan kereta api cepat Makassar (Sulawesi Selatan)-Bitung (Sulawesi Utara). Ketika itu Presiden mengatakan, semua bagian penting di Indonesia ini akan segera dibangun jalur kereta api.
”Nanti begitu jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung dimulai, segera disusul jalur kereta cepat Jakarta-Surabaya,” ujarnya.
Namun, tidak lama kemudian, Presiden mempertanyakan mengapa sudah dua tahun realisasi pembangunan belum juga terjadi. Nampaknya sejarah awal, 155 tahun lalu, berulang saat ini.
Bung Karno pernah bilang ”Jasmerah”, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dua ribu tahun silam, seorang filsuf, politisi, pengacara, dan jagoan pidato, Marcus Tullius Cicero (106-43 sebelum Masehi) di Roma, menyerukan hal hampir sama, ”Historia magistra vitae,” artinya sejarah adalah guru kehidupan.
Kata-kata Cicero itu lengkapnya dalam bahasa Latin seperti berikut ini. Historia vero testis temporum, lux veritatis, vitae memoria, magistra vitae, nuntia vetustatis. Artinya, sejarah adalah saksi zaman, cahaya kebenaran, kenangan akan hidup, guru kehidupan, dan pesan dari masa lalu.
Perjalanan dengan kereta api Yogya-Solo-Semarang sepanjang 168 kilometer ini melintasi sekitar 10 kabupaten di Jawa Tengah. Rute ini sudah beberapa kali saya lewati dengan kereta api. Perjalanan saya selama 3 jam pada Rabu, 3 Juli 2019, itu secara kronologis sejarah, bersifat terbalik.
Saya mulai dari Yogyakarta, tempat akhir atau selesainya pembangunan lintas kereta Semarang- Tanggung-Kedungjati-Gundih-Solo-Yogya pada 1873. Padahal, sejarah paling awal pembangunan (seksi pertama) adalah Semarang-Tanggung 1864 -1867.
Saya ingin memiripkan diri perjalanan kereta api hari Rabu 3 Juli 2019 lalu dengan film Amerika, Timeline. Film ini berkisah tentang mahasiswa arkeologi Amerika yang melakukan penelitian situs perang Kerajaan Perancis dengan Inggris di Perancis abad ke-14. Ketika melakukan penelitian itu, mereka secara fisik dengan sebuah sistem teknologi kembali ke masa pertempuran itu berlangsung.
Jadi, perjalanan ini saya bayangkan seperti masuk lagi ke masa lalu lewat rel kereta api dan stasiun-stasiun buatan 155 tahun lalu. Saya ingin mendengarkan pesan sejarah satu setengah abad silam, ketika berlangsungnya pembangunan kereta api di masa berlakunya sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel(1830-1870). Sistem kolonial ini mengharuskan rakyat Jawa menanam komoditas ekspor, kayu, kopi, tebu (gula), nila, dan tembakau.
Kereta api pada masa itu ikut memperlancar angkutan komoditas ekspor tersebut. Di Negeri Belanda sedang dilanda liberalisme, para pengusaha swasta punya kuasa. Poolman adalah pengusaha perkebunan selama 30 tahun di Jawa (1829-1859) yang kemudian menjadi anggota parlemen (Tweede Kamer) di DenHaag, sebelum balik ke Jawa untuk membangun sistem kereta api.
Ketika kereta api ada di Jawa, ekspor komoditas oleh pihak swasta tahun 1885 hampir sepuluh kali lipat dari ekspor pemerintah (Belanda). Amsterdam menjadi pusat perdagangan komoditas tropis dunia, terutama kopi dan gula. Pembangunan jalur kereta api di Belanda meningkat pula.
Sementara kelaparan melanda di Jawa Tengah, khususnya di Semarang dan sekitarnya (1900-1902). Ini menurut buku sejarah tulisan sejarawan Australia, MC Ricklefs, dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Namun, Jawa mendapat warisan kereta api dan stasiun-stasiun antik, selain untuk angkutan manusia juga bisa jadi modal pariwisata. Romantis bukan?
Jumlah stasiun yang saya lewati dari Yogya-Solo adalah sembilan stasiun. Yakni Stasiun Tugu, Lempuyangan, Maguwo, Brambanan (Prambanan), Srowot, Klaten, Ceper, Delanggu, Gawok, dan Solo Balapan.
Kemudian dari Solo sampai Semarang 13 stasiun, yakni Kalioso, Salem, Sumberlawang, Goprak, Mongot, Gundih, Jambean, Karangsono, Jetis, Talawa, Gedangan, Padas, Kedungjati, Tanggung, Brumbung, Jamus, Alastua, dan Semarang Tawang.
Semua stasiun ini merupakan cagar budaya, heritage, yang dibangun sekitar 155 tahun lalu. Saya jadi ingat ketika tahun 1990-an ikut perjalanan Presiden Soeharto ke Italia.
Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, di pesawat Soeharto bilang, di Italia kalau diketemukan sebungkah batu pun, kalau itu terbukti peninggalan sejarah, akan dilindungi mati-matian oleh pemerintahnya.
Sebongkah batu bisa menjadi modal pariwisata sejarah. Italia, seperti Spanyol dan Perancis, sebagai negeri-negeri pariwisata dunia, sangat getol menjual sejarah untuk pariwisata.
Soeharto ketika kembali dari Spanyol awal tahun 1980-an juga berkata, mengapa jumlah turis yang datang ke negeri ini hampir dua kali lipat dari penduduknya, padahal yang mereka jual ”cuma” peninggalan-peninggalan sejarah?
Dalam acara gala dinner Hari Ulang Tahun Ke-50 PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) di Jakarta, Senin malam, 11 Febuari 2019 lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan, pariwisata berpeluang menjadi penyumbang devisa terbesar asalkan sektor ini digarap dengan baik.
Saat rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa 16 Juli 2019, dibahas soal tujuan wisata sebagai prioritas. Laporan pers dari rapat di Istana itu memberi catatan soal kedatangan para wisatawan dari luar negeri.
Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata menargetkan 17 juta wisatawan mancanegara datang ke Indonesia tahun 2018. Kenyataannya, yang datang hanya sekitar 15,81 juta. Target gagal dicapai. Kementerian ini perlu sekali-kali melihat wisata sejarah di Grobogan dan sekitarnya.
Kereta api dan stasiun-stasiunnya terutama antara Semarang-Solo-Yogya adalah peninggalan sejarah yang sangat menarik. Pemerintah pusat, daerah terkait, apakah melihat ini, melihat pesan sejarah ini? Kereta api dan relnya punya sejarah, dan potensial sebagai obyek wisata. Ada kereta api wisata.
Kementrian Pariwisata bagaimana? Bagaimana juga dengan pemerintah daerah, misalnya Kabupaten Grobogan yang sebagian penduduknya pernah marah karena dituduh tanah kemiskinan.
Grobogan punya sekitar 10 heritage stasiun kereta api. Apakah pemerintah kabupaten ini ikut menunjang pengembangan wisata sejarah di sekitar stasiun kereta api?
”Dari pemerintah daerah belum ada,” kata Kepala Stasiun Tanggung Sapto Edi, Sabtu, 20 Juli 2019 lalu.
Kembali ke perjalanan saya pada 3 Juli lalu. Dari Yogya ke Solo, stasun-stasiun hanya saya lihat sekilas. Rute ini menyuguhkan pemandangan sampah plastik di beberapa kota, walaupun diselingi panorama sawah, gunung, dan burung-burung yang masih beterbangan bebas.
Pembangunan lintas ini pada masa silam tidak begitu banyak persoalan politis karena selain ditopang Pemerintah Hindia Belanda dan raja-raja di wilayah Surakarta dan Yogyakarta, juga mendapat bantuan dari perusahaan-perusahaan perkebunan swasta yang mempunyai pengaruh besar terhadap para pemegang kekuasaan.
Setelah keluar dari Stasiun Solo Balapan yang melintasi pagar-pagar rumah-rumah kumuh dan sampah plastik seperti dalam perjalanan dari Jakarta-Bandung atau Jakarta-Cirebon, saya duduk di dekat masinis ditemani seorang pegawai senior PT Kereta Api Indonesia (Pesero), Sudibyo, serta Kepala Daerah Operasi VI PT Kereta Api Indonesia Pesero (Yogya, Solo, dan sekitarnya) Eko Purwanto.
Sementara Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Persero (KAI) Edi Sukmoro duduk di gerbong belakang bersama para stafnya membahas masalah-masalah yang dihadapi perusahaan BUMN ini.
Sembilan menit perjalanan menanjak, sampailah di Stasiun Kalioso, di Kabupaten Karanganyar, sebelah timur laut Solo. Sebelum sampai di stasiun kecil yang punya sumur tua ini, Eko Purwanto mengatakan, Stasiun Kalioso adalah salah satu tempat duduk-duduknya (kongkouw-kongkouw) Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika masih menjadi pengusaha kayu dan mebel dulu.
Kepala Stasiun Kalioso Sutarno menunjuk sebuah amben dari bambu (balai-balai) di halaman depan stasiun itu sebagai tempat duduk-duduknya Jokowi dulu.
”Tempat ini perlu dirawat dan diberi tulisan sebagai tempat inspirasi Presiden RI ke-7,” kata Edi Sukmoro kepada Eko Purwanto dan Sutarno.
Perjalanan berikutnya menyeberangi Sungai Cemoro, melintasi dua stasiun kecil di Kabupaten Sragen, yakni Stasiun Salem dan Sumber Lawang, kemudian masuk ke Kabupaten Grobogan lewat dua stasiun kecil, Goprak dan Mongot.
Perjalanan berikut, sampai ke Stasiun Gundih yang penuh dongeng, mitos dan berita yang bisa membuat kita melanjutkan tersenyum, sedih menangis, dan terpesona. Dari Gundih, ke arah barat menyeberang Sungai Serang melintasi stasiun-stasiun kecil, seperti Jambean, Karangsono, Jetis, Talawa (Kabupaten Boyolali), Gedangan, Padas, dan Kedungjati.
Stasiun-stasiun ini terletak di kaki Pegunungan Kendeng selatan dan tidak jauh sebelah timur dan utara Waduk Kedung Ombo. Paling sedikit 42 jembatan bangunan awal 155 tahun lalu kami seberangi.
Ketika melintasi kawasan ini (dari Kalioso sampai Kedungjati) saya beberapa kali membuka buku berjudul Nalika Tanah Jawa Sinabukan Ril-Konsesi NV NISM di Jawa Tengah 1864-1958, diterbitkan PT KAI (Persero) tahun 2018. Antara lain dikatakan oleh buku ini, pembangunan antara Solo sampai Gundih cukup sulit karena wilayahnya berbukit, banyak sungai, dan sifat tanahnya tidak mudah untuk dibangun rel.
Untuk itu dibutuhkan ribuan tenaga kerja dari Surabaya dan Kalimantan Barat untuk pembabatan ratusan hektar hutan, pemerataan dan pemadatan tanah di tengah panas terik, serta hujan air dan kritik pers berbahasa Belanda di Jawa dan di negeri Belanda.
Kalau berada di dalam stasiun di Kedungjati, Ambarawa, dan Tanggung, kita seperti berada di dalam stasiun-stasiun di lintas kereta Den Haag-Amsterdam. Bangunan kuno dan barang-barang antik seperti jam dinding dan lain-lainnya sampai kini masih terpelihara sebagian. Tapi jangan menengok keluar dari bangunan-bangunan itu, karena kita jadi merasa di Jawa lagi, melihat jalan berdebu dan sampah plastik.
Tidak jauh dari Stasiun Gundih, ada sebuah bangunan dan oleh penduduk setempat disebut gedung papak (datar atau rata). Disebut demikian karena atap dari gedung tua dari abad yang lalu itu datar atau rata.
Antara Agustus-September 2017, gedung ini menjadi perhatian banyak wartawan untuk sumber berita. Pada tahun itu, seorang nenek tua bersaksi pernah menjadi salah satu jugun ianfu atau korban ”pemuas nafsu seks” para tentara Jepang di masa penjajahan Jepang (1942-1945). Nenek tua itu datang ke gedung papak sambil menangis dan menunjuk sebuah kamar dan tempat tidur kuno.
Sudibyo, pegawai PT KAI yang duduk di sebelah saya dalam perjalanan ini, mengatakan, kosakata Gundih itu sebenarnya berasal dari kata gundik. Banyak pria Belanda dulu punya ”simpanan” (gundik) di sebuah wilayah di Desa Geyer, Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan.
”Maka, wilayah itu disebut gundih karena orang Belanda tidak bisa mengeja gundik,” kata Sudibyo.
Peta Jawa Tengah di buku ATLAS Indonesia & Dunia untuk: SD, SMP, SMA & yang sederajat terbitan CV Indonesia Prima Sarana yang saya beli di toko buku Gramedia Yogyakarta tidak menyebut wilayah itu Gundih, tapi Gundik (lihat halaman 20).
Kepala Daerah Operasi IV KAI (Semarang dan sekitarnya) Nurul Huda Dwi Santoso sudah membangun instalasi listrik tenaga surya dan kawasan wisata di Stasiun Gundih. Namun, ini perlu kerja sama dengan pemerintah setempat.
”Tapi, penunjang peningkatan inovasi wisata sejarah belum ada,” ujar Kepala Stasiun Gundih Heri Budi Santoso menunjuk kepada pemerintahan setempat.
Sebelum masuk Stasiun Semarang Tawang di kawasan kota tua Semarang yang sedang menghias diri, saya berhenti di Stasiun Kedungjati dan Tanggung. NISM, perusahaan kereta api Belanda, juga membangun jalur kereta api dan Stasiun Willem I di Ambarawa lewat Tuntang dan menyusuri tepian Rawa Pening yang dikelilingi Gunung Merapi, Merbabu, Telomoyo, Andong, dan lain-lainnya. Panorama alam yang indah sekali.
Di Stasiun Ambarawa masih tersimpan dan terpelihara lokomotif dan gerbong kereta yang pernah mengangkut Bung Karno dan keluarganya, dari Jakarta ke Yogya. Ini menandai perpindahan ibu kota RI dari Yogyakarta pada Januari 1946.
Lintas Kedungjati-Ambarawa dibangun sebagai kompromi dalam konflik politis dan bisnis antara kelompok W Poolman dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda LAJW Baron Sloet van den Beele dari kelompok konservatif di bawah pengaruh Th J Steltjes, pensiunan perwira militer yang jadi pengusaha. Steltjes ingin pembangunan kereta untuk kepentingan militer, bukan hanya bisnis.
Di stasiun kecil Tanggung (Grobogan), saya berhenti 15 menit. Lintas antara stasiun kecil Samarang (bukan Semarang) di Desa Kemijen (wilayah pesisir kota Semarang timur laut) dengan Stasiun Tanggung adalah sejarah paling awal pembangunan transportasi kereta api di Indonesia.
Stasiun Tanggung masih utuh terpelihara, termasuk rumah kepala stasiun pertamanya. Dari depan rumah kepala stasiun ini, Rabu 3 Juli 2017 pukul 13.30 WIB, saya melihat tumpukan sampah plastik di tepi jalan raya desa.
Sementara situs tempat pencangkulan tanah pertama untuk dimulainya pembangunan sistem kereta api di Indonesia oleh Gubernur Jenderal LAJ Baron Sloet van den Beele di Desa Kemijen, 17 Juni 184, kini sudah tidak jelas.
Seorang pegawai KAI, Krisbiantoro, yang pernah tinggal di kompleks KAI Kemijen, menunjukkan tempat pencangkulan pertama di tengah rawa. Untuk sampai ke tempat itu, kita harus melintasi Jalan Ronggowarsito, Semarang.
Selain itu, lintas Yogya-Solo- Semarang, NISM juga membangun lintas Jakarta-Bogor, dan Semarang-Cepu-Surabaya. Kesuksesan ini melahirkan 11 perusahaan swasta kereta api yang membangun di banyak tempat di Jawa dan luar Jawa.
Sepuluh tahun kemudian, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan perusahaan kereta api di Indonesia, Staatsspoorwegen (SS). Antara tahun 1875 dan 1878, untuk pertama kalinya membangun lintas kereta api di Jawa Timur, antara Surabaya dan Pasuruhan lewat Stasiun Bangil.
Lintas ini dilanjutkan ke Malang, Blitar, Madiun, sampai ke Solo juga. Kemudian SS membangun lagi lintas Bogor-Bandung-Cicalengka (Jawa Barat). Setelah itu seperti dikatakan dalam puisi ramalan Pujangga Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabehi Ronggowarto (1802-1873), Pulau Jawa bersabukkan (memakai ikat pinggang) dan berkalungkan rel kereta api. Itu warisan yang diiringi cucuran darah, air mata, dan senyum orang Indonesia dulu.