Baru 1,8 Persen Pengguna Narkoba di Aceh yang Direhab
Dari 73.201 orang pengguna narkoba di Aceh baru 1.350 orang yang direhabilitasi atau 1,8 persennya. Sebanyak 71.851 pengguna narkoba di Aceh belum direhabilitasi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Dari 73.201 pengguna narkoba di Aceh, baru 1.350 orang yang direhabilitasi atau 1,8 persennya. Sebanyak 71.851 pengguna narkoba di Aceh belum direhabilitasi.
Hingga saat ini, Aceh belum memiliki pusat rehabilitasi pengguna narkoba yang representatif. Padahal, jumlah pengguna diprediksi terus meningkat seiring derasnya sabu masuk ke provinsi itu. Tanpa ada upaya penanggulangan yang serius, Aceh terancam gagal membangun generasi unggul.
Kepala Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Aceh Sayuti, Rabu (24/7/2019), mengatakan, hasil survei BNN Indonesia bekerja sama dengan Universitas Indonesia pada 2014 menunjukkan, jumlah penyalahguna narkoba di Aceh mencapai 73.201 orang. Namun, yang baru menjalani rehabilitasi sejak 2014-2018 hanya 1.350 orang, atau sekitar 1,8 persennya saja.
BNN Provinsi Aceh hanya memiliki klinik rehabilitasi rawat jalan. Adapun rumah rehabilitasi rawat inap sebanyak 13 unit, satu di antaranya milik Pemerintah Provinsi Aceh. Adapun daya tampung rumah rehab saat ini antara 20 orang dan 40 orang setiap rumah rehab. ”Lembaga rehab saat ini sangat terbatas. Aceh butuh balai rehabilitasi dengan kapasitas lebih besar,” kata Sayuti.
Jika hanya mengandalkan rumah rehab yang ada saat ini, butuh puluhan tahun untuk merehab semua pengguna. Sementara, setiap tahun diperkirakan pengguna baru terus bermunculan. ”Jika para pengguna ini dibiarkan, kita akan kehilangan generasi yang unggul,” kata Sayuti.
Ia mengatakan, penanggulangan narkoba bukan hanya tugas aparat hukum. Kerja sama lintas sektor belum berjalan dengan baik sebab melawan narkoba membutuhkan energi besar dan komitmen yang kuat.
Sayuti mengatakan, pengguna narkoba di Aceh berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari pegawai negeri/swasta, mahasiswa, pelajar, hingga penganggur. Sebanyak 65 persen pengguna merupakan kaum pekerja. Narkoba dianggap sebagai suplemen untuk menambah tenaga dalam bekerja.
Aceh butuh balai rehabilitasi dengan kapasitas lebih besar.
Ketua Yayasan Pinto Hijrah, lembaga rehabilitasi pecandu narkoba di Banda Aceh, Dedi Saputra mengatakan, lembaga mereka dalam setahun hanya mampu menampung 150 orang rawat inap. Besaran biaya rehabilitasi per pasien mencapai Rp 2,8 juta per bulan dengan durasi rehab selama enam bulan.
Dedi mengatakan, sebagian pencandu narkoba dari keluarga ekonomi rendah sehingga keterbatasan biaya menjadi kendala membawa mereka ke rumah rehab. ”Kami mendapatkan subsidi dari Kementerian Sosial, tetapi jumlahnya sangat terbatas,” kata Dedi.
Dedi mengajak pemerintah daerah terlibat penuh dalam upaya rehabilitasi pencandu narkoba sebab saat ini narkoba mulai masuk ke desa-desa dan menyasar generasi muda. Jumlah pengguna narkoba melebihi jumlah desa di Aceh, yakni 6.500 desa. Artinya, jika dibagi rata, di setiap desa ada 11 orang pengguna narkoba.
”Jika satu orang bisa memengaruhi satu orang lainnya, setiap tahun ada peningkatan jumlah pemakai narkoba. Ini sangat mungkin sebab pengguna narkoba tidak pernah main sendiri,” kata Dedi.
Sebelumnya, saat perayaan Hari Antinarkotika Internasional (HANI) Juni 2019, Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan, Aceh sedang menjajaki rencana pembangunan rumah sakit narkoba. Namun, itu masih sebatas wacana sebab, kata Nova, butuh anggaran besar dan rencana matang.