Kabar gembira bagi dunia konservasi. Bayi gajah sumatera (Elephas maximus) berjenis kelamin betina baru lahir dari induk gajah bernama Suci, Rabu (24/7/2019) pukul 07.00, di Conservation Response Unit Alue Kuyun, Kabupaten Aceh Barat, Aceh. Kelahiran bayi gajah ini menambahkan daftar populasi gajah sumatera di Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kabar gembira bagi dunia konservasi. Bayi gajah sumatera (Elephas maximus) berjenis kelamin betina baru lahir dari induk gajah bernama Suci, pada Rabu (24/7/2019) pukul 07.00 WIB di Conservation Response Unit Alue Kuyun, Kabupaten Aceh Barat, Aceh. Kelahiran bayi gajah ini menambahkan daftar populasi gajah sumatera di Aceh.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo mengatakan, bayi gajah itu dalam keadaan sehat. Tubuhnya memiliki panjang 100 sentimeter, tinggi 90 sentimeter, dan berat 70 kilogram.
”Ini kabar gembira, kami menyambut dengan bahagia, tetapi bayi gajah ini belum diberi nama,” kata Sapto.
Kalau gajah liar tentu lebih banyak, kami melihat ada beberapa anak gajah dalam kawanan gajah dewasa, tetapi sulit kita pantau berapa kelahirannya.
Sapto menuturkan, ini merupakan anak kedua dari induk gajah Suci. Anak pertama Suci bernama Rosa, lahir tahun 2012, tetapi meninggal dua tahun lalu karena sakit. Suci awalnya merupakan gajah liar yang ditangkap di kawasan Ulee Glee, Kabupaten Pidie Jaya, tahun 1994.
Sapto mengatakan, dalam rentang tiga tahun terakhir ada dua kelahiran dari induk gajah jinak di Aceh. ”Kalau gajah liar tentu lebih banyak, kami melihat ada beberapa anak gajah dalam kawanan gajah dewasa, tetapi sulit kita pantau berapa kelahirannya,” katanya sembari menambahkan, pihaknya akan merawat dengan baik bayi gajah itu. Sapto berharap kelahiran bayi gajah ini membawa semangat bagi dunia konservasi. Terlebih pada saat konflik satwa di Aceh yang masif terjadi.
Saat ini populasi gajah di Indonesia sekitar 1.700 individu. Sebanyak 500 individu berada di Aceh, selebihnya tersebar di beberapa provinsi di Sumatera. Hutan Aceh menjadi harapan besar pelestarian habitat satwa lindung kunci, yakni gajah, harimau, orangutan, dan badak.
Tugas bersama
Direktur Pusat Kajian Satwa Liar Universitas Syiah Kuala Wahdi Azmi menuturkan, melindungi satwa lindung di Aceh adalah tugas bersama dan butuh komitmen kuat lintas sektor. Selama ini pemanfaatan ruang yang keliru memicu konflik satwa dengan manusia. Ruang habitat satwa banyak dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit dan perkebunan warga.
Saat ini, Pemprov Aceh sedang menggodok peraturan daerah/qanun perlindungan satwa. Dalam perda itu diatur tentang kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan, pemberdayaan ekonomi warga di kawasan hutan, dan sanksi terhadap pelaku kejahatan terhadap satwa.
Dengan adanya qanun, semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, memiliki wadah untuk bekerja sama dalam melindungi satwa.
Ketua tim perumus rancangan qanun perlindungan satwa liar, Nurzahri, qanun ini sangat penting untuk memastikan keberlangsungan hidup satwa liar di Aceh, seperti gajah, orangutan, badak, dan harimau. Saat ini, qanun masih dalam bentuk draf, tapi Nurzahri berharap bisa disahkan tahun ini.