Produksi Karet Turun Signifikan, Petani Butuh Bantuan
Penyakit gugur daun kembali mewabah di Sumsel, bahkan menjadi yang terparah sejak tiga tahun terakhir. Sepanjang tahun ini setidaknya 400.000 hektar lahan karet di Sumsel terjangkit penyakit gugur daun. Hal ini berdampak pada penurunan produksi karet hingga 60 persen.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
BANYUASIN, KOMPAS — Penyakit gugur daun kembali mewabah di Sumatera Selatan bahkan menjadi yang terparah sejak tiga tahun terakhir. Sepanjang tahun ini setidaknya 400.000 hektar lahan karet di Sumsel terjangkit penyakit gugur daun. Hal ini berdampak pada penurunan produksi karet hingga 60 persen. Dengan wabah ini, diprediksi produksi karet di Sumsel bisa menurun hingga 40 persen dibandingkan dengan tahun lalu.
Aryanto, petani karet di Kabupaten Banyuasin, Sumsel, menerangkan, wabah gugur daun sebenarnya sudah terjadi sejak dua tahun lalu, tetapi dampaknya tidak terlalu parah. ”Dulu hanya pohon karet jenis tertentu yang terkena wabah ini. Sekarang hampir semua jenis pohon ikut terjangkit,” katanya. Penyakit ini biasanya menyerang tanaman karet di usia lima tahun ke atas.
Sebelumnya, ujar Aryanto, wabah gugur daun ini hanya terjadi di masa tertentu, yakni di puncak musim kemarau periode Agustus-September. Namun, sejak tiga tahun terakhir, wabah ini terjadi hampir di sepanjang tahun. Daun di pohon karet cuma bertahan satu bulan, kemudian gugur lagi.
Dengan fenomena ini, getah karet yang dihasilkan berkurang drastis. Penyakit ini, lanjut Aryanto, menjangkit tanaman karet di masa-masa produktif yakni di ”Belum selesai persoalan harga karet, kini pohon kami terserang wabah gugur daun sepanjang tahun,” ucapnya.
Produksi getah karet pada 1 hektar lahan karet menurun hingga 60 persen. Biasanya, 1 hektar lahan karet dapat menghasilkan sekitar 100 kilogram getah karet, tetapi sekarang hanya sekitar 40 kilogram per hektar.
Dulu hanya pohon karet jenis tertentu yang terkena wabah ini. Sekarang hampir semua jenis pohon ikut terjangkit.
Aryanto menyebutkan, kondisi ini membuat petani semakin terpukul. Pemerintah daerah sudah memberikan bantuan berupa pupuk dan fungisida, tetapi hasilnya tidak terlalu terlihat karena wabah ini tetap saja terjadi.
Dari sisi harga, ujar Aryanto, di tingkat lelang harga karet menurun dari Rp 9.500 per kg pada bulan lalu dan sekarang Rp 8.500 per kg. Bahkan, di tingkat petani yang menjual karetnya kepada tengkulak, harga karet saat ini sekitar Rp 5.000 per kg. ”Tidak heran banyak petani yang mencari pekerjaan lain selain menyadap, termasuk menjadi kuli bangunan,” katanya.
Mewabah
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian mengungkapkan, pada 2017-2019, setidaknya sudah 787.903 hektar lahan karet di Sumsel yang terjangkit wabah ini, dan 400.000 hektar di antaranya baru terjangkit sepanjang tahun ini. ”Penyebarannya hampir merata di setiap daerah penghasil karet di Sumsel,” ucapnya.
Dalam 1 hektar lahan karet, kata Rudi, 30 persen sampai 50 persen tanaman karet terjangkit. Hal ini disebabkan oleh gulma yang terus berkembang dan akhirnya menjadi inang. Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga sudah memberikan pupuk untuk 4.000 hektar lahan karet yang tersebar di tujuh kabupaten, antara lain Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Musi Banyuasin, dan beberapa daerah lain.
Namun, Rudi menyadari, pemupukan bukanlah satu-satunya cara menumpas penyakit ini, cara yang paling utama adalah pembersihan lahan karet dari gulma. ”Pembersihan harus dilakukan secara menyeluruh karena kalau tidak dibersihkan secara tuntas, penyakit ini akan menyebar ke lahan yang terdekat,” katanya.
Penyebarannya hampir merata di setiap daerah penghasil karet di Sumsel.
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Alex K Eddy menyebutkan, untuk triwulan pertama saja, produksi karet di Sumsel sudah menurun sekitar 20 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kalau kondisi ini dibiarkan, produksi karet Sumsel akan turun signifikan dari semula sekitar 900.000 ton per tahun kini kurang dari 800.000 ton. ”Kondisi ini membuat pabrikan akan kesulitan untuk mencari bahan baku,” kata Alex.
Pada 2017, kata Alex, fenomena ini tidak berpengaruh pada pabrik karena mereka masih punya stok untuk diekspor. Kini, stok karet terus menipis, produksi karet di petani pun berkurang. Akibatnya, sebagian besar pabrik karet harus mengurangi shift kerjanya sebagai langkah efisiensi.
Sebenarnya, lanjut Alex, kapasitas pabrik pengolahan karet di Sumsel sekitar 1,5 juta ton per tahun. Namun, dengan produksi karet hanya 800.000 ton per tahun ini, dikhawatirkan akan banyak pabrik yang bersaing untuk mendapatkan bahan baku. Akibat kekurangan bahan baku ini, ujarnya, ada satu pabrik yang berhenti beroperasi karena kalah bersaing dengan pabrikan lain.