BPBD Bali mengimbau masyarakat, sekolah, hingga pelaku pariwisata untuk meningkatkan kewaspadaan dan kapasitasnya dalam pengetahuan mitigasi bencana. Semua agar memaksimalkan akses informasi dari lembaga terkait dengan aplikasi resmi.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Badan Penanggulangan Bencana Daerah Bali mengimbau masyarakat, sekolah, hingga pelaku pariwisata untuk meningkatkan kewaspadaan dan kapasitasnya dalam pengetahuan mitigasi bencana. Semuanya agar memaksimalkan akses informasi dari lembaga-lembaga terkait dengan aplikasi resmi.
Sejumlah aplikasi informasi terkait kebencanaan serta pengetahuan seperti apa risiko dan ancaman bencana di tempat tinggal masing-masing dapat diunduh. Hal ini guna mengantisipasi dan mengonfirmasi info-info tidak benar (hoaks) yang belakangan marak beredar, khususnya di media sosial, soal bencana.
Apalagi, gempa yang mengguncang tiga kali dalam sehari pada 24 Juli 2019 sempat membuat panik umat Hindu Bali yang tengah bersembahyang Galungan di pura. Di beberapa lokasi pariwisata dan Bandara Internasional Ngurah Rai juga sempat ada kepanikan saat gempa 16 Juli 2019 lalu.
Kepala Pelaksana BPBD Bali Made Rentin mengatakan, kepanikan harus dikurangi. Terutama ketika menerima informasi terkait bencana di media sosial, jangan segera percaya. ”Konfirmasi menjadi penting dan kami dari BPBD siap membantu menjelaskan kepada siapa pun yang ingin menanyakannya,” kata Rentin di Denpasar, Kamis (25/7/2019).
Apalagi, lanjutnya, pada Rabu (24/7/2019), Bali diguncang gempa sebanyak tiga kali, yaitu dengan magnitudo (M) 4,9 pukul 09.29 Wita, M 4,1 pukul 19.53 Wita, dan M 5,2 pukul 21.17 Wita. Gempa pertama dan kedua tercatat di lokasi yang sama. Sementara gempa ketiga berbeda titik di Samudra Hindia.
Konfirmasi menjadi penting dan kami dari BPBD siap membantu menjelaskan kepada siapa pun yang ingin menanyakannya.
”Ketiga gempa ini cukup membuat banyak pertanyaan, apakah ada kaitan dari ketiganya. Melalui rilis BMKG, ketiga gempa tersebut sulit untuk secara ilmiah memiliki keterkaitan langsung. Meskipun demikian, Bali memang berada di jalur lingkar gunung api serta ada lokasi yang dekat dengan sesar atau lempeng. Jadi, lebih baik meningkatkan kewaspadaan dan mitigasi bersama-sama,” ujar Rentin.
Tidak sekadar selamat
Mitigasi, menurut Rentin, tidak hanya kapasitas siap untuk selamat. Akan tetapi, bangunan juga perlu dipikirkan agar lebih aman, khususnya bangunan seperti sekolah dan rumah sakit. Hal ini agar tidak terus berulang adanya korban luka ataupun jiwa seperti pada gempa 16 Juli lalu yang berdampak kerusakan sejumlah gedung sekolah serta korban luka.
Berdasarkan penjelasan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang ditulis Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono, menurut kedalaman hiposenternya, gempa pertama dan kedua adalah gempa dengan kedalaman menengah di zona Benioff.
Ditinjau dari karakteristik kedalaman dan mekanisme sumbernya, lanjutnya, tampak kedua gempa lebih memiliki kaitan dengan aktivitas gempa kuat yang terjadi pada 16 Juli 2019 lalu dengan kekuatan M 6,0 pada kedalaman 75,6 km.
Akan tetapi, gempa yang ketiga adalah gempa baru di zona megathrust. Berdasarkan lokasi episenter dan kedalamannya, tampak bahwa gempa ini merupakan jenis gempa tektonik dangkal di zona megathrust relatif dekat dengan front subduction. Dengan memperhatikan mekanisme sumber yang berupa pergerakan naik (thrusting), hiposenter gempa ini terletak pada bidang kontak antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Gempa semacam ini populer disebut sebagai interplate earthquake.
Pada gempa ketiga, meski jaraknya sekitar 200 kilometer barat daya Nusa Dua, getarannya dirasakan di Lombok (Nusa Tenggara Barat). Dengan terjadinya tiga gempa bumi di selatan Bali dalam sehari tersebut, Daryono juga mengimbau masyarakat untuk bersama meningkatkan kewaspadaan, tetapi tidak perlu resah dan khawatir. Tingkah laku gempa masih sulit dikenali polanya. Selain itu, aktivitas gempa bumi belum dapat diprediksi kapan, di mana, dan berapa kekuatannya.
Kepala Stasiun Geofisika Denpasar Ikhsan menambahkan, lempeng-lempeng tektonik selalu bergerak dan dalam pergerakan memungkinkan saling bergesekan. Selain itu, gempa bumi sewaktu-waktu bisa terjadi di mana saja selama wilayah tersebut beririsan dengan lempeng bumi dan ada aktivitas pergerakan dari lempeng-lempeng di bawah perut bumi.