Justifikasi dan prasangka buruk terhadap perbedaan membuat banyak orang memutuskan tidak mau bergaul dengan mereka yang berbeda paham dan keyakinan. Padahal, pergaulan dengan kelompok berbeda justru langkah untuk menguatkan iman.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·2 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Justifikasi dan prasangka buruk terhadap perbedaan membuat banyak orang memutuskan tidak mau bergaul dengan mereka yang berbeda paham dan keyakinan. Padahal, pergaulan dengan berbagai kelompok berbeda justru langkah untuk menguatkan iman.
”Banyak orang menolak bergaul dengan yang berbeda pemahaman dan keyakinan dengan alasan perbedaan itu akan mengganggu atau merusak keimanan mereka,” ujar Direktur Institut Dian/Interfidei Elga J Sarapung dalam acara diskusi bertajuk ”Nandur Srawung Ngundhuh Sedulur” di Pendopo Gereja Santo Ignatius, Kota Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (27/7/2019) malam. Padahal, menurut dia, hal yang terjadi justru sebaliknya.
Untuk menguatkan iman, setiap orang semestinya bergaul dengan banyak orang dan berinteraksi dengan beragam perbedaan. ”Intinya, orang yang masih memiliki masalah dengan perbedaan hanyalah orang yang sebenarnya kurang banyak bergaul saja,” ujarnya.
Orang yang masih memiliki masalah dengan perbedaan hanyalah orang yang sebenarnya kurang banyak bergaul.
Namun, sayangnya, hal ini tidak disadari oleh banyak orang. Tidak hanya terjadi di kalangan umat, prasangka buruk terhadap perbedaan itu juga sering kali masih muncul dalam pikiran tokoh agama, seperti pendeta dan kiai.
Tidak saja dengan yang pihak yang berbeda agama, justifikasi dan prasangka juga sering kali terjadi di kalangan umat dalam satu agama.
”Sesama umat sendiri bahkan tidak bisa menerima perbedaan pemahaman yang terjadi. Mereka sering kali langsung melakukan justifikasi dengan mengatakan bahwa dirinyalah yang benar dan orang lain yang salah. Hanya dirinya yang masuk surga, orang lain tidak,” ujarnya.
Untuk menepis situasi tidak menyenangkan karena perbedaan tersebut, setiap orang harus memiliki keberanian untuk menyudahi masalah. Semua perbedaan bisa diredam dengan mengintensifkan pertemuan antarumat beragama.
Namun, menurut dia, hal itu tidak cukup dilakukan dengan inisiatif dari satu orang atau segelintir orang saja. ”Upaya untuk mewujudkan perdamaian membutuhkan kekuatan dari banyak orang,” ujarnya.
Romo Vincentius Kirjito Pr, rohaniwan di Kabupaten Magelang, mengatakan, ada masanya orang bermusuhan dan ada kalanya orang berdamai. Namun, tidak semua orang bisa memadupadankan situasi itu dengan baik.
Ia memberi contoh dalam pertandingan sepak bola. ”Sering kali ada pertandingan bertajuk pertandingan persahabatan yang terjadi antara dua klub yang bermusuhan. Bermusuhan demikian hebat sehingga hasil akhir pertandingan kerap kali juga masih menimbulkan kerusuhan antara dua pendukungnya,” ujarnya.
Padahal, semua perbedaan itu semestinya dimaknai sebagai hal yang lumrah terjadi dalam hidup. Seperti di musim kemarau saat ini, kekeringan dan krisis air membuat banyak petani sedih karena kesulitan bertani.
Namun, di satu sisi, jika mereka berhasil bertani padi, mereka pun pada masanya akan berbahagia karena harga beras di musim kemarau biasanya lebih tinggi daripada di musim hujan.