Bentara Budaya Bali mulai Minggu (28/7/2019) malam menghadirkan puluhan karya seni rupa dua dimensi dari perupa I Made Sumadiyasa. Sumadiyasa mengajak untuk kembali mengenali alam dan merasakan daya alami.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
GIANYAR, KOMPAS — Bentara Budaya Bali mulai Minggu (28/7/2019) malam menghadirkan puluhan karya seni rupa dua dimensi dari perupa I Made Sumadiyasa. Melalui pameran tunggal bertajuk Sacred Energy itu, Sumadiyasa mengajak penikmat seni rupa Tanah Air untuk kembali mengenali alam dan merasakan daya alami.
Sacred Energy merupakan pameran tunggal Sumadiyasa terkini setelah kali terakhir perupa asal Tabanan itu menggelar pameran tunggalnya yang berjudul The Backlash of the East di Pipal Fine Art, Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2011. Sacred Energy menghadirkan 33 lukisan terpilih karya Sumadiyasa untuk dinikmati khalayak umum hingga 5 Agustus mendatang.
Kurator pameran Wicaksono Adi mengatakan, karya rupa dua dimensi bercorak abstrak dari Sumadiyasa itu mengajak penikmat seni rupa untuk kembali merasakan dan mengenali energi alami yang melingkupi kehidupan.
Saat ini, realitas digital deras berseliweran sehingga manusia hampir melupakan hubungannya dengan alam.
”Energi suci dari alam itu ada di mana-mana. Saat ini, realitas digital deras berseliweran sehingga manusia hampir melupakan hubungannya dengan alam,” ujar Wicaksono.
Ke-33 lukisan itu merupakan karya Sumadiyasa selama rentang waktu 1990-an akhir hingga 2019. Pameran juga menampilkan karya sketsa Sumadiyasa yang merupakan alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Dengan menikmati karya-karya Sumadiyasa dari kurun waktu tersebut, pengunjung diajak mengenali perjalanan dan dinamika ekspresi Sumadiyasa. Menurut kurator pameran, perjalanan itu dapat dibagi dalam tiga periode, yakni ekspresionisme yang melampaui bentuk dasar obyek lalu tahapan abstraksi menuju esensi immaterial, dan tahapan atmosfer atau suasana dari gerak dan energi yang sudah melampaui abstraksi bentuk.
Pendiri Museum Seni Agung Rai (ARMA) Ubud Anak Agung Gde Rai mengungkapkan, Sumadiyasa peka menangkap dan merespons getaran-getaran alam lalu menuangkannya ke lukisan. ”Karya Sumadiyasa ini ekspresif dan dinamis. Goresannya kuat,” kata Agung Rai, seusai membuka pameran di Bentara Budaya Bali, Minggu malam.
”Di Bali, alam tidak hanya dinikmati keindahannya, tapi juga disucikan karena masyarakat percaya alam menghidupkan Bali. Energi alam itu tenget, sakral,” ujar Agung Rai menambahkan.
Pembukaan pameran Sacred Energy ramai dihadiri budayawan dan seniman serta kalangan akademisi dan diplomat. Di antara yang hadir adalah Konsul Jepang di Denpasar Hirohisa Chiba, Konsul Kehormatan Italia di Denpasar Giuseppe ”Pino” Confessa, budayawan I Made Bandem, dramawan Abu Bakar, perupa I Nyoman Erawan, dan pendiri Museum Seni Neka, Ubud, Pande Wayan Suteja Neka.
Bentara Budaya Bali sudah beberapa kali menyelenggarakan pameran karya-karya beraliran abstrak. Bahkan, sejak awal keberadaannya pada 2009, Bentara Budaya Bali sebagai lembaga kebudayaan milik Kompas Gramedia memberikan ruang bagi perupa yang mengeksplorasi ambang batas warna, garis, hingga ke nir rupa untuk menampilkan karya mereka. Hal itu diwujudkan melalui pameran tunggal ataupun pameran bersama.
Misalnya, pameran Mata Kosmis Wirantawan (2013), Dua Musim dari Sipa Manik dan Made Budhiana (2014), Soulscape in Progress #3 (2015), maupun pameran Shadow Dance III I Nyoman Erawan (2017).
Karya masterpiece (adiluhung) sesungguhnya melampaui waktu dan melintas zaman.
Koordinator Bentara Budaya Bali Warih Wisatsana mengungkapkan, masyarakat Bali mengenal konsep niskala, nirbentuk, atau nir-rupa serta memahami adanya kekuatan atau daya di luar diri manusia yang mempengaruhi kehidupan. Dari sisi kesenian, ujar Warih, seni tradisi di Bali tidak dapat dikategorikan sebagai hal yang lampau karena seni tradisi di Bali terus hidup dan berkembang hingga sekarang.
”Seni tradisi, modern, atau kontemporer bukan hal dikotomi di Bali. Karya masterpiece (adiluhung) sesungguhnya melampaui waktu dan melintas zaman,” ujar Warih menambahkan.