Hutan Adat Didorong Minimalkan Masalah Lingkungan di Sulawesi Selatan
Penetapan hutan adat terus didorong untuk menjadi solusi meminimalkan kerusakan lingkungan di Sulawesi Selatan. Banjir dan longsor di sejumlah kabupaten dan sedimentasi Danau Tempe dipicu penurunan daya dukung lahan akibat pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan.
Oleh
RENY SRI AYU
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS-Penetapan hutan adat terus didorong untuk menjadi solusi meminimalkan kerusakan lingkungan di Sulawesi Selatan. Banjir dan longsor di sejumlah kabupaten dan sedimentasi Danau Tempe diduga dipicu penurunan daya dukung lahan akibat pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan.
Hal ini mengemuka dalam diskusi yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, Senin (29/7/2019), di Makassar bertema "Mendorong Akses Legal Pengelolaan Sumber Daya Alam Bagi Masyarakat Adat Melalui Penetapan Hutan Adat di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan".
Sejauh ini, Enrekang menjadi salah satu daerah percontohan penetapan hutan adat. Di wilayah ini sudah ada dua komunitas adat yang mendapatkan surat keputusan (SK) hutan adat. Selain Enrekang, hutan adat yang telah memiliki SK adalah kawasan Hutan Adat Kajang di Bulukumba.
Sedangkan tujuh kawasan hutan adat lainnya sedang dalam proses verifikasi mendapat SK dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hutan adat yang telah mendapatkan SK maupun dalam prosesnya, luasnya mencapai puluhan ribu hektar.
“Di Enrekang, pembukaan lahan untuk pertanian dan tanaman hortikultura terjadi masif. Padahal Enrekang adalah hulu Sungai Bila, salah satu sungai yang berkontribusi pada pendangkalan Danau Tempe. Beberapa waktu lalu, banjir terjadi dimana-mana bahkan dataran tinggi seperti Enrekang dan Toraja. Kami terus mendorong penetapan hutan adat untuk memulihkan hutan yang rusak atau menjaga yang masih utuh,” kata Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulsel, Andi Hasbi.
Beberapa waktu lalu banjir terjadi dimana-mana bahkan dataran tinggi, seperti Enrekang dan Toraja. Karena itu kami terus mendorong penetapan hutan adat untuk memulihkan hutan yang rusak atau menjaga yang masih utuh
Danau Tempe adalah danau purba di Sulsel yang menjadi muara bagi sekitar 21 sungai besar dan kecil. Kerusakan hutan di sepanjang daerah aliran sungai yang bermuara ke danau ini, menyebabkan pendangkalan hebat di Danau Tempe. Sedimentasinya mencapai tujuh sentimeter per tahun atau setara jutaan meter kubik.
Ini menjadi sumber masalah yang membuat tiap tahun danau ini meluap dan menggenangi sejumlah kecamatan di tiga kabupaten yang berbatasan dengan Danau Tempe. Sebagai gambaran saat hujan, luas danau mencapai 40.000 hektar. Namun, saat kemarau hanya tersisa 10.000 hektar.
“Hutan adat lebih besar kontribusinya terhadap peningkatan kualitas hutan dibanding penghijauan atau rehabilitasi hutan dan lahan. Mereka hanya perlu dibantu mendata kembali kawasan adat mereka dan membagi berapa yang akan ditetapkan sebagai hutan adat. Tentu juga ada aturan pengelolaan dimana masyarakat bisa mendapatkan manfaat ekonomi, misalnya, menanam diantara tegakan,” kata Hasbi.
Ketua AMAN Sulsel Sardi Razak mengatakan, keberhasilan penetapan hutan adat tak lepas dari dukungan pemerintah dan keinginan masyarakat adat. Di Enrekang, pemerintah kabupaten sangat mendukung pengembalian kawasan adat dan penetapan hutan adat bersama masyarakat.
"Kami mendampingi pendataan, pengelolaan, dan proses legal ke KLHK. Kami yakin dengan cara ini ada banyak kawasan hutan yang bisa diselamatkan,” katanya.
Piter Kadang, Pemangku Adat Marena, salah satu kelompok adat di Enrekang mengatakan, penetapan hutan adat lebih baik menjaga kondisi hutan. Alasannya, masyarakat kerap lebih takut pada sanksi adat. Mereka juga lebih ketat menjaga hutan, terlebih bila dapat memberikan manfaat ekonomi.
"Di kawasan Hutan Adat Marena, kami menanam kopi dan durian sebagai tanaman sela diantara tegakan. Hutan terjaga dan ada hasil yang bisa dinikmati,” katanya.