Sistem kolaborasi dari sejumlah lembaga dalam pencarian dan penyelamatan korban bencana menjadi kekuatan utama Basarnas. Pencegahan secara dini atas suatu bencana pun perlu dilakukan dan disosialisasikan kepada masyarakat.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sistem kolaborasi dari sejumlah lembaga dalam pencarian dan penyelamatan korban bencana menjadi kekuatan utama Badan Pencarian dan Penyelamatan Nasional. Saat ini jumlah personel Basarnas hanya 3.000 orang dari total kebutuhan 10.000 orang, di samping peralatan pendukung pun terbatas. Pencegahan secara dini atas suatu bencana pun perlu dilakukan dan disosialisasikan kepada masyarakat.
Direktur Operasi Basarnas Pusat Brigadir Jenderal TNI (Mar) Budi Purnama, di sela Rapat Koordinasi Pencarian dan Pertolongan Nasional, Basarnas dan Pelatihan Beregu Basarnas Nusa Tenggara Timur (NTT), kepada pers di Kupang, Senin (29/7/2019), mengatakan, NTT sebagai daerah kepulauan memiliki potensi kerawanan bencana cukup tinggi. Luas laut di NTT 200.000 kilometer persegi dan luas daratan 48.718 kilometer persegi.
Wilayah perairan di NTT jauh lebih luas daripada daratan. Tinggi gelombang di sejumlah kawasan perairan NTT pun sangat membahayakan pelayaran dengan tinggi lebih dari 4 meter. Sementara tingkat bencana di daratan pun cukup tinggi, seperti puting beliung, longsor, gempa bumi, atau gunung berapi.
”Selama ini kita mampu menangani semua jenis kejadian pascabencana karena kolaborasi dengan berbagai lembaga, termasuk BPBD, dan masyarakat. Sistem kolaborasi, koordinasi, dan melengkapi peralatan ini membuat pekerjaan pencarian dan penyelamatan menjadi lebih mudah,” tutur Budi.
Ia mengakui masih ada sejumlah keterbatasan yang dihadapi Basarnas. Jumlah personel yang dibutuhkan 10.000 orang, tetapi sampai hari ini terealisasi hanya 3.000 orang untuk 34 provinsi. Fasilitas pendukung seperti kapal SAR seharusnya 600 unit, tetapi baru terealisasi 140 unit. Adapun helikopter yang dibutuhkan baru lima unit dari total kebutuhan 25 unit.
Meski demikian, keterbatasan alat utama bukan hambatan bagi Basarnas dalam menjalankan tugas dan fungsi di lapangan. Melalui program kolaborasi, semua persoalan terkait pencarian dan penyelamatan korban selalu dikerjakan sesuai rencana. Masyarakat pun memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan Basarnas sehingga semua masalah dapat diselesaikan.
Saat memberikan pencerahan kepada 69 personel SAR NTT, Budi mengatakan, ketika menjalankan tugas, sebagian hidup anggota SAR ada dalam kemungkinan, yakni turut menjadi korban atau menyelamatkan korban. Hal paling penting bagi seorang anggota SAR adalah mengikuti prosedur dalam menjalankan tugas, dan melengkapi diri dengan fasilitas dasar yang dibutuhkan. Mengabaikan salah satu dari dua hal ini berisiko sangat besar bagi keselamatan.
Indonesia adalah negara maritim, diapit Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik. Konsekuensinya, sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut. Sejumlah negara yang melayari kapal melintasi wilayah ini selalu berharap agar Indonesia menjamin keamanan bagi kapal-kapal itu selama berlayar sehingga Basarnas pun selalu siaga.
Selama ini kita mampu menangani semua jenis kejadian pascabencana karena kolaborasi dengan berbagai lembaga, termasuk BPBD, dan masyarakat.
Mengenai pencari suaka politik yang sering memasuki wilayah perairan Indonesia, Budi mengatakan, tanggung jawab negara soal pengungsi sudah diatur oleh undang-undang. Mereka tetap diperlakukan secara manusiawi.
”Jika ada kejadian di laut yang membutuhkan pencarian dan penyelamatan, apa pun yang terjadi, tim SAR harus turun ke dalam laut. Ini menyangkut nyawa manusia yang hendak ditolong. Tetapi kita pun harus memiliki stamina, keterampilan berenang, dan memiliki perlengkapan untuk mengamankan diri secara memadai,” tuturnya.
Rata-rata setiap tahun ada 600 kasus kapal hilang, tenggelam, serta nelayan hilang atau tidak pernah pulang. Betapa penting bagi setiap pelaut membawa life jacket atau minimal jeriken sebagai sarana keselamatan. Banyak pemilik kapal atau nelayan tidak menyediakan alat keselamatan sebelum berlayar.
Tugas Basarnas antara lain melakukan sosialisasi kepada masyarakat soal penyediaan alat keselamatan selama berlayar. Kepala Basarnas Kupang Emi Freeser mengatakan, jumlah personel Basarnas Kupang 69 orang dari total kebutuhan 320 orang dan didukung dua kapal SAR, masing-masing sepanjang 20 meter dan 40 meter.
NTT memiliki dua kantor SAR, yakni di Kupang dan Maumere. Sementara Labuan Bajo hanya memiliki satu pos pemantau SAR dengan jumlah personel tiga orang.
Bangun pos pantau
”Dalam waktu dekat, kami akan membangun pos pemantau SAR di Rote. Jika pos ini cukup optimal, kami akan melanjutkan dengan pembangunan pos pemantau di Sabu Raijua. Kedua kabupaten ini berada di lintasan laut dengan ketinggian di atas 4 meter sehingga masuk zona merah. Setiap terjadi cuaca buruk, semua lintasan kapal menuju kedua kabupaten ini selalu ditutup, kecuali kapal milik PT Pelni,” tuturnya.
Ia berjanji tetap membangun koordinasi dan kerja sama dengan Bakamla, Satria Lantamal, polisi perairan dan udara polda, serta BPBD NTT. Lembaga-lembaga tersebut memiliki alur bantuan laut dan darat. Jika terjadi kecelakaan laut atau bencana darat, Basarnas selalu mengirim posting area ke grup media sosial. Lembaga yang berada di lokasi terdekat segera bergerak melakukan pencarian dan penyelamatan darurat, diikuti lembaga SAR lain.
Jika terjadi gelombang tinggi disertai badai, hujan deras berhari-hari disertai banjir di mana-mana, atau tanda-tanda yang dikeluarkan gunung berapi, itu mengingatkan manusia sekitar untuk segera menghindar.
Wakil Gubernur NTT Joseph Nae Soi menyebutkan, sebaiknya antisipasi dini untuk setiap kejadian itu jauh lebih penting daripada kegiatan pencarian dan penyelamatan. Manusia menguasai alam ini, baik di laut, darat, maupun udara. Hanya, manusia memiliki naluri untuk membaca, menganalisis, menilai, dan mengambil keputusan atas sesuatu yang bakal dihadapi.
”Jika sedang terjadi gelombang tinggi disertai badai, hujan deras berhari-hari disertai banjir di mana-mana, atau tanda-tanda yang dikeluarkan gunung berapi, itu mengingatkan manusia sekitar untuk segera menghindar. Atau, saat terjadi gempa bumi, bagaimana cara mengamankan diri secara cepat, dalam hitungan detik itu. Semua ini harus disosialisasikan kepada masyarakat,” kata Nae Soi.