Kesenian jaranan atau jaran kepang khas Desa Mergowati, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, diusulkan menjadi warisan budaya tak benda.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
TEMANGGUNG, KOMPAS — Kesenian jaranan atau jaran kepang khas Desa Mergowati, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, diusulkan menjadi warisan budaya tak benda. Usulan tersebut kini dalam proses penetapan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dosen seni tari sekaligus Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Slamet mengatakan, usulan jaranan sebagai warisan budaya tak benda tersebut diajukan oleh dirinya.
”Bersama dengan usulan tersebut, saya mengajukan bahan penelitian saya selama tiga tahun tentang kesenian jaran kepang di Desa Mergowati,” ujarnya, Selasa (30/7/2019).
Akhir Juni lalu, perwakilan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengecek dan meninjau langsung bukti-bukti pendukung tentang sejarah kesenian jaran kepang dan keberadaan kesenian tersebut hingga sekarang. Saat ini, usulan tersebut tengah melalui sejumlah tahapan dan dimungkinkan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda pada 2020.
Kesenian tersebut memang benar-benar merupakan kesenian komunal yang lahir dari masyarakat.
Slamet mengatakan, dirinya tergerak melakukan penelitian dan mengajukan usulan setelah beberapa kali mendampingi mahasiswanya melaksanakan program kuliah kerja nyata (KKN) di desa tersebut. Setelah beberapa kali berkunjung, dia menilai jaran kepang layak ditetapkan sebagai warisan budaya karena kesenian tersebut memang benar-benar merupakan kesenian komunal yang lahir dari masyarakat.
Dari hasil penelusuran sejarah, Slamet mengetahui bahwa pada masa Kerajaan Mataram Islam, Desa Mergowati menjadi tempat pemeliharaan atau lokasi kandang kuda-kuda kerajaan. Hal ini antara lain dituliskan dalam karya sastra Jawa, Serat Centhini.
Dari hasil pengecekan di lapangan, hal ini juga makin dikuatkan oleh adanya temuan lempengan batu dengan cekungan berbentuk tapak kuda. Selain karena terbiasa melihat kuda, Slamet mengatakan, dirinya berasumsi, tarian jaran kepang sengaja diciptakan masyarakat untuk meminta berkat perlindungan bagi kuda-kuda kerajaan di desanya tersebut.
”Mengacu pada kebiasaan orang Jawa pada masa lalu, mereka biasanya akan membuat tiruan binatang untuk meminta perlindungan dari roh binatang tersebut,” ujarnya.
Karena terbiasa melihat kuda, Slamet mengatakan, masyarakat kala itu menciptakan gerakan-gerakan dalam tarian jaran kepang yang murni meniru gerakan kuda, bukan gerakan penunggangnya. Asumsi ini juga makin diperkuat oleh adanya kelompok kesenian jaran kepang di Desa Mergowati yang telah eksis sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.
Slamet mengatakan, dirinya sengaja mengajukan usulan ini sebagai bagian dari upaya untuk melindungi kesenian jaran kepang agar tidak diakui sebagai kesenian khas dari daerah atau negara lain.
Sutopo, penari jaran kepang dari Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo, merespons positif usulan penetapan jaran kepang Mergowati sebagai warisan budaya tak benda. ”Jika nantinya berhasil ditetapkan di tingkat nasional, kami sangat berharap penetapan ini bisa berlanjut di UNESCO. Kami ingin jaran kepang bisa menjadi warisan budaya dunia,” ujarnya.
Jika jaran kepang ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, menurut dia, seluruh warga Temanggung akan merasa bangga. Hal itu nantinya juga akan berdampak pada peningkatan antusiasme warga untuk menonton, ikut terlibat menari, hingga akhirnya juga membantu melestarikan kesenian ini.