Pola kemitraan PT PG Rajawali II, grup PT RNI (Persero), dengan petani penggarap diharapkan dapat mengakhiri konflik lahan tebu di Indramayu, Jawa Barat, yang berlarut-larut sejak 2014. Konflik lahan itu tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga memicu terpuruknya industri gula di Jabar karena kekurangan tebu.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS — Pola kemitraan PT PG Rajawali II, grup PT RNI (Persero), dengan petani penggarap diharapkan dapat mengakhiri konflik lahan tebu di Indramayu, Jawa Barat, yang berlarut-larut sejak 2014. Konflik lahan itu tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga memicu terpuruknya industri gula di Jabar karena kekurangan tebu.
Hal itu mengemuka dalam pertemuan penyelesaian konflik tanah hak guna usaha (HGU) PT PG Rajawali II di Markas Komando Distrik Militer 0616/Indramayu, Selasa (30/7/2019). Turut hadir Komandan Kodim 0616/Indramayu Letnan Kolonel (Kav) Agung Nur Cahyono, Kepala Polres Indramayu Ajun Komisaris Besar Yoris Marzuki, dan Asisten Daerah II Bidang Ekonomi, Pembangunan, dan Kesejahteraan Rakyat Indramayu Maman Kostaman.
Hadir pula Direktur Utama PG Rajawali II Audry H Jolly serta sejumlah perwakilan lembaga swadaya masyarakat yang mewakili petani penggarap di lahan HGU. Sebelumnya, pertemuan serupa untuk mencari solusi atas konflik lahan sudah dilakukan dua kali.
Titik terang penyelesaian konflik tanah mulai tampak kali ini dengan penawaran pola kemitraan dari PG Rajawali II. Pola itu memberikan kepastian hukum kepada petani untuk menggarap lahan dengan biaya sewa sekitar Rp 3,5 juta per hektar per tahun. ”Jumlah itu diambil berasal dari 50 persen harga sewa lahan setempat, yakni Rp 7 juta per hektar per tahun,” kata Jolly.
Pihaknya juga akan memfasilitasi pinjaman modal di bank bagi petani melalui kredit usaha rakyat (KUR) untuk menanam tebu. Dengan begitu, petani tidak perlu menyerahkan agunan, seperti sertifikat tanah, kepada bank. Namun, pabrik gula akan mengawasi penggunaan modal itu. Ketika panen, diterapkan sistem bagi hasil, yakni 66 persen untuk petani dan 34 persen diberikan kepada pabrik gula untuk biaya operasional giling tebu.
Dengan pola kemitraan ini, kami akan mendampingi petani untuk menanam tebu. Komoditas ini risikonya sangat kecil dibandingkan dengan komoditas lain di tanah kering. Kalau memang ada lahan tidak layak tebu, nanti kami carikan pola lain. (Audry H Jolly)
Pola itu menurut rencana diterapkan pada 5.000 hektar lahan yang selama ini diduduki ribuan warga. Menurut Jolly, sesuai sertifikat PG Rajawali II sejak 1976, lahan HGU di Indramayu mencapai 6.200 hektar dan sekitar 5.800 hektar di Kabupaten Majalengka. Pada 2014, masa HGU itu telah diperpanjang hingga 2029.
”Dengan pola kemitraan ini, kami akan mendampingi petani untuk menanam tebu. Komoditas ini risikonya sangat kecil dibandingkan dengan komoditas lain di tanah kering. Kalau memang ada lahan tidak layak tebu, nanti kami carikan pola lain,” ungkapnya.
Putus kontrak
Menurut Jolly, pasokan tebu sangat dibutuhkan untuk menghidupi Pabrik Gula Jatitujuh yang ada di perbatasan Indramayu dan Majalengka. ”Kalau tidak ada tebu, sekitar 2.000 karyawan kami di sana akan kehilangan pekerjaan. Saat ini saja kami sudah memutus kontrak karyawan kontrak untuk efisiensi pabrik,” ujarnya.
PG Jatitujuh membutuhkan 7,5 juta kuintal tebu untuk giling. Namun, lanjutnya, saat ini, hanya ada sekitar 2,8 juta kuintal tebu. Bahan baku itu berasal dari Majalengka dan Subang. Sebelumnya, pada 2018, PG Subang yang berkapasitas giling maksimal 2.800-3.000 ton tebu per hari tidak lagi beroperasi karena kekurangan bahan baku.
Pabrik yang beroperasi pada 1984 itu merupakan pabrik kelima milik PG Rajawali II yang tutup di Jabar sejak 1990-an. Sebelumnya terdapat delapan pabrik gula di Jabar. Jika pola kemitraan berjalan, terdapat potensi 3,5 juta kuintal tebu dari lahan 5.000 hektar.
Kepala Polres Indramayu Ajun Komisaris Besar Yoris mengatakan, berdasarkan sertifikat HGU, saat ini pemilik lahan 5.000 hektar itu adalah PG Rajawali II. ”Pola kemitraan ini bagus karena memberikan kesempatan kepada warga untuk memanfaatkan lahan itu. Kalau masih ada yang tidak setuju, silakan menggugat lahan itu secara hukum, tetapi jangan mengganggu dengan menduduki lahan,” ujarnya.
Dandim 0616/Indramayu Letkol (Kav) Agung Nur Cahyono berharap pola kemitraan dapat mengakhiri konflik lahan yang bertahun-tahun terjadi. ”Sudah ada korban meninggal gara-gara konflik ini. Jangan sampai jatuh korban lagi,” ujarnya.
Dua LSM yang mendampingi petani penggarap, yakni Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan dan Aliansi Masyarakat Peduli Rakyat, sepakat dengan pola kemitraan untuk mengakhiri konflik lahan itu. Sementara Forum Komunikasi Masyarakat Indramayu Selatan (F-Kamis) meminta waktu empat hari untuk berkoordinasi dengan petani penggarap.
”Selama ini, warga menanam padi dan palawija di tanah tersebut, bukan tebu. Kalau menanam tebu, caranya bagaimana? Kalau gagal panen, bagaimana? Jika pola kemitraan tiba-tiba dihentikan, petani bagaimana? Ini yang perlu diperjelas,” ujar Rudi Haryono, juru bicara F-Kamis.
Terkait dengan hal itu, Asisten Daerah II Indramayu Maman Kostaman mengatakan, pihaknya akan membentuk tim kecil dan melibatkan LSM yang mendampingi petani penggarap. ”Tim ini akan membahas pola kemitraan lebih detail,” katanya.