Kapal yang Ditumpangi 7 Nelayan asal Tegal dan Karawang Hilang Kontak
Kapal pencari ikan yang ditumpangi tujuh nelayan hilang kontak sejak awal Juli 2019. Kapal yang berangkat dari Pelabuhan Perikanan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, pada 1 Juli 2019 itu hendak mencari rajungan di perairan Kalimantan Timur.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Kapal pencari ikan yang ditumpangi tujuh nelayan hilang kontak sejak awal Juli 2019. Kapal yang berangkat dari Pelabuhan Perikanan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, pada 1 Juli 2019 itu hendak mencari rajungan di perairan Kalimantan Timur.
Biasanya kapal bertonase 14 gros ton itu kembali ke Tegal setelah 20 hari melaut. Kini, setelah hampir sebulan melaut, kapal itu belum juga kembali. Kapal milik Subandi (35), warga RT 002 RW 003 Muarareja itu mengangkut tiga nelayan dari Tegal dan empat nelayan Karawang, Jawa Barat.
Rendi (23), keponakan Subandi, mengatakan, komunikasi terakhir yang dilakukan pihak keluarga dengan nelayan-nelayan di kapal itu terjadi pada 3 Juli 2019. Mereka berkomunikasi lewat radio komunikasi kapal.
”Saya khawatir kapal yang ditumpangi paman saya itu rusak diterjang gelombang tinggi. Sebab, sudah sebulan ini cuaca di laut sedang buruk. Selain itu, kapal itu memang sudah tua dan sering rusak,” kata Rendi saat ditemui, Rabu (31/7/2019), di Pelabuhan Perikanan Muarareja.
Menurut Rendi, pamannya dan enam nelayan lain memutuskan untuk tetap berangkat melaut meski gelombang air laut sedang tinggi. Nekat melaut saat cuaca buruk menjadi hal yang biasa dilakukan oleh para nelayan karena mereka mengaku tak punya pilihan lain dalam mencari nafkah.
”Sebenarnya takut juga kalau nanti ada apa-apa di laut. Tapi, kami tak punya pilihan lain. Bismillah saja pokoknya,” ujar Rendi.
Hingga saat ini pihak keluarga belum melapor perihal hilangnya kapal nelayan itu. Mereka takut melapor karena kapal berangkat secara ilegal. ”Keluarga hanya bisa pasrah sambil terus mengirim doa dari rumah. Mau lapor, kami tidak berani karena kapal paman saya itu tidak ada surat-suratnya, bisa dikatakan ilegal,” ucap Rendi.
Keluarga hanya bisa pasrah sambil terus mengirim doa dari rumah. Mau lapor, kami tidak berani karena kapal paman saya itu tidak ada surat-suratnya, bisa dikatakan ilegal. (Rendi)
Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian, dan Pangan Kota Tegal Sirat Mardanus mengatakan, kapal-kapal dari Pelabuhan Perikanan Muarareja dengan tonase belasan gros ton umumnya yang mendapat izin melaut sehari atau one day fishing. Mereka juga diharuskan melapor ke pihak pelabuhan perikanan sebelum dan setelah melaut.
Terkait dengan nasib nelayan yang masih hilang, Sirat akan berkoordinasi dengan pihak pelabuhan perikanan dan otoritas kesyahbandaraan Tegal. Untuk sementara, pihaknya akan menyampaikan informasi kepada nelayan-nelayan yang akan berangkat melaut ataupun yang sedang di laut untuk memberikan informasi terkait dengan keberadaan kapal itu.
Tak melaut jauh
Nasib Subandi dan enam nelayan lain yang hilang kontak membuat sebagian nelayan di Muarareja enggan melaut. Kalaupun melaut, jaraknya tak terlalu jauh dari pantai. Warsad (45), nelayan, sadar betul bahaya melaut di saat gelombang tinggi. Dia, yang sehari-hari melaut hingga ratusan mil ke perairan Kalimantan Timur, memilih melaut di perairan 50 mil (sekitar 92 kilometer) dari pantai Tegal.
”Takut karena sedang ada gelombang tinggi. Kata teman yang di laut, tinggi gelombangnya hingga 3 meter,” ucap Warsad.
Warsad mengatakan, pendapatannya menurun selama gelombang tinggi. Biasanya dia bisa mendapatkan Rp 15 juta per bulan. Selama gelombang tinggi, pendapatannya turun menjadi Rp 5 juta per bulan.
Prakirawan cuaca di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Tegal, Layla Isnaeni, mengatakan, gelombang setinggi 1,25 meter-2,5 meter di perairan laut Jawa masih akan terjadi hingga dua pekan mendatang. Tidak hanya itu, angin di perairan laut Jawa juga juga cukup kencang, yakni 5-15 knot atau 9,25-27 kilometer per jam.