Rencana Aksi Penggemukan Sapi Berbasis Lamtoro di NTB Disiapkan
Universitas Mataram bersama Universitas Massey Selandia Baru melalui proyek Innovative Farming System and Capability for Agribusiness Activity (IFSCA), berhasil mengembangkan teknologi penggemukan sapi berbasis lamtoro (Leucanea leucocephala) di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Agar bisa berkembang hingga skala produksi, mereka juga akan merancang peta jalan atau rencana aksi teknologi tersebut sehingga bisa meningkatkan pendapatan peternak lokal.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Universitas Mataram bersama Universitas Massey Selandia Baru melalui proyek Innovative Farming System and Capability for Agribusiness Activity (IFSCA), berhasil mengembangkan teknologi penggemukan sapi berbasis lamtoro (Leucanea leucocephala) di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Agar bisa berkembang hingga skala produksi, mereka juga merancang peta jalan atau rencana aksi teknologi tersebut sehingga bisa meningkatkan pendapatan peternak lokal.
Project Leader IFSCA Taufik Fauzi pada acara Beef and Horticulture Expo IFSCA di Mataram, Rabu (31/7/2019) mengatakan, proyek IFSCA dimulai sejak 2016 lalu. Ada dua kabupaten yang menjadi sasaran mereka yakni Lombok Utara dan Dompu.
“Lombok Utara difokuskan untuk pertanian yang mendukung kegiatan pariwisata. Sedangkan di Dompu untuk pengembangan sapi dan jagung,” kata Taufik yang juga guru besar Fakultas Pertanian Universitas Mataram (Unram).
Selain itu, langkah ini untuk menyiapkan masyarakat menghadapi dampak perubahan iklim yang akhir-akhir ini sering terjadi
Menurut Taufik, untuk proyek di Lombok Utara, sebelum gempa mereka berhasil meningkatkan pendapatan petani sampai 60 persen. Hanya proyek di Lombok Utara sempat terkendala gempa bumi yang mengguncang Lombok pada 2018 lalu. “Pascagempa, proyek itu akan kami mulai kembali,” kata Taufik.
Sementara di Dompu, kata Taufik, mereka mengembangkan penggemukan sapi berbasis lamtoro atau dikenal dengan petai china. Penggunaan lamtoro berangkat dari kekhawatiran habisnya rumput dan menjadi gurun akibat kapasitas berlebih sapi yang saat ini dilepas liar di padang gembalaan.
“Selain itu, langkah ini untuk menyiapkan masyarakat menghadapi dampak perubahan iklim yang akhir-akhir ini sering terjadi,” kata Taufik.
Daerah kering
Penangung Jawab Penelitian Sapi IFSCA yang juga guru besar Fakultas Peternakan Universitas Mataram Dahlanuddin menambahkan, selain cocok untuk penggemukan sapi di daerah kering, mudah tumbuh, dan mudah dirawat, lamtoro juga mengandung protein tinggi (25 persen protein kasar).
Hingga saat ini, menurut Dahlanuddin, penggemukan sapi berbasis lamtoro (petai china) telah diterapkan oleh lebih dari 1.200 peternak di Sumbawa Barat, Sumbawa, dan Dompu.
“Penggunaan lamtoro telah berhasil meningkatkan laju pertumbuhan sapi dari 0,2 kilogram per hari menjadi 0,4 sampai 0,6 kilogram per hari. Selain itu, persentase karkas juga meningkat dari 48 persen menjadi 52 persen,” kata Dahlanuddin.
Hanya, meski memiliki kualitas yang bagus, namun daging sapi yang dikembangkan dengan lamtoro belum bisa diproduksi dalam skala besar. Saat ini, rumah potong hewan (RPH) Asakota Kota Bima, hanya bisa memotong 1-2 ekor per hari karena belum ada kontrak dengan hotel atau restoran.
“Oleh karena itu, kami akan bertemu dengan pemerintah, RPH, asosiasi petani, dan konsumen untuk merumuskan peta jalan atau rencana aksi. Sehingga hasil riset ini bisa menjadi masal. Dengan adanya peta jalan, diharapkan tidak hanya peternak, tetapi RPH, dan konsumen sama-sama untung,” kata Dahlanuddin.
Dahlanuddin menambahkan, jika semua pihak mulai dari peternak, RPH, hingga konsumen sama-sama mendapat untung, maka teknologi itu bisa terus dikembangkan. Meski saat ini kondisi itu belum bisa terwujud.
Menurut Dahlanuddin, dengan adanya rencana aksi, diharapkan penggemukan sapi berbasis lamtoro bisa menjadi program besar. Selain memberikan keuntungan bagi semua pihak, teknologi itu juga akan mendukung industrialisasi sapi yang menjadi program Pemerintah Provinsi NTB salah satunya lewat pakan.
“Kalau ingin membuat pabrik pakan di NTB, secara bahan seperti limbah jagung dan padi banyak. Energinya ada, tetapi tidak ada protein. Oleh karena itu, lamtoro menjadi solusi,” kata Dahlanuddin.
Dalam waktu dekat
Pertemuan untuk merumuskan rencana aksi akan dilakukan dalam waktu dekat. “Semoga ini menjadi awal yang baik untuk peternak kita. Membeli produk lokal tidak hanya akan membantu peternak lokal, tetapi juga mengembangkan ekonomi lokal,” kata Dahlanuddin.
Kalau ingin membuat pabrik pakan di NTB, secara bahan seperti limbah jagung dan padi banyak. Energinya ada, tetapi tidak ada protein. Oleh karena itu, lamtoro menjadi solusi
Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah yang turut hadir dalam acara tersebut mengatakan, hasil penelitian dari Unram dan Universitas Massey harus terus dikembangkan. Menurut dia, penggemukan sapi berbasis lamtoro sejalan dengan upaya pemerintah provinsi NTB daam mendorong industrialisasi peternakan.
“NTB penghasil sapi yang besar dengan populasi 1,15 juta. Sekarang kita mendorong industrialisasi untuk menghasilkan sapi dengan kualitas, nilai tambah, dan pemanfaatan yang lebih baik. Oleh karena itu, saya sangat berharap dan menunggu kelanjutannya (penggemukan sapi berbasis lamtoro),” kata Sitti.
Sitti berharap, kajian terkait pakan dari lamtoro bisa semakin mendalam. Menurut Sitti, proses peternakan sapi tidak bisa terus menerus seperti yang terjadi di Sumbawa (bergantung pada pakan rumput). Seiring makin berkurangnya ruang, menurut Sitti, harus dipikirkan jalan lain agar pengembangan peternakan bisa berkelanjutan. “Lamtoro ini bisa menjadi solusi untuk itu,” kata Sitti.
Sekretaris Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB Iskandar Zulkarnaen menambahkan, untuk mendukung pengembangan pakan dari lamtoro, pemerintah daerah NTB juga akan menyediakan 5.000 hektar lahan di Sumbawa pada 2020 mendatang. Program itu sudah dianggarkan. “Kami akan bekerjasama dengan Dinas Kehutanan untuk menyiapkan lahan di perbatasan hutan,” kata Iskandar.
Lamtoro ini bisa menjadi solusi untuk itu
Dalam expo yang dihadiri pihak Unram dan Universitas Massey, pemerintah daerah, perwakilan hotel dan restoran, itu dilakukan uji kualitas daging sapi yang digemukkan dengan lamtoro.
Marina Tayeb selaku Managing Director Ombak Hotels Group yang membawahkan Hotel Vila Ombak dan Hotel Ombak Sunset di Gili Terawangan dan Hotel Ombak Paradise di Gili Air, Lombok Utara mengatakan, kualitas daging dengan lamtoro sudah sesuai harapan.
“Untuk industri (hotel dan restoran), saya kira ada harapan karena kualitasnya sudah bagus. Konsumen atau tamu kami juga akan terima. Hanya harus dipastikan ketersediaan pasokan dan harga,” kata Marina yang setiap hari membutuhkan 100 kilogram daging untuk hotelnya.
Menurut Marina, peluang daging lokal di NTB ke depan akan semakin besar. Tidak hanya karena pariwisata sudah kembali menggeliat pascagempa, tetapi juga adanya konstruksi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika dan hotel-hotel yang dibangun.