Kelulusan ditentukan Sekolah, Mutu Pendidikan Menurun
Lima persoalan pendidikan di NTT perlu segera dibenahi.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS- Kelulusan siswa sejak 2018 tidak lagi berdasarkan hasil UN yang diperoleh, meski materi UN diadakan pusat. Kelulusan ditentukan sekolah sehingga hampir sebagian besar sekolah di Nusa Tenggara Timur mulai terlena, mutu pendidikan dikawatirkan memburuk. Lima persoalan pendidikan di NTT perlu segera dibenahi.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur Benyamin Lola saat memberi pencerahan kepada para guru dan kepala sekolah di SMKN 1 Kupang di Kupang, Kamis (1/8) mengatakan, sejak April 2018 kelulusan sekolah menengah atas atau sederajat ditentukan oleh sekolah bersangkutan, meski bahan ujian nasional diadakan dari pusat. Pelimpahan kewenangan menentukan (angka) kelulusan oleh pemerintah pusat, tidak berarti sekolah-sekolah sesukanya menentukan kelulusan siswa.
“Saat ini ujian nasional atau UN tidak lagi menjadi penentu mutlak kelulusan siswa. Ketika UN menjadi penentu kelulusan saja, rangking dan mutu lulusan SMA, SMK dan sederajat di NTT nomor tiga dari bawah, apalagi ketika UN tidak menjadi penentu kelulusan. Sekolah sesukanya memberi nilai. Ini dikhawatirkan mutu pendidikan di daerah ini semakin terpuruk,”kata Benyamin.
Guru mulai malas berkompetisi, mengejar nilai UN terbaik. Siswa pun mulai santai mengikuti pelajaran, malas belajar, malas mengikuti kegiatan-kegiatan pengembangan diri di sekolah.
Padahal, hasil kompetensi guru cukup baik, absensi kehadiran guru di sekolah pun memuaskan. Tetapi mengapa UN selalu rendah. Persoalan ada di mana, siswa atau guru, atau lingkungan.
Khusus sekolah milik pemerintah, sarana dan prasarana seperti laboratorium dan perpustakaan sekolah sudah cukup terjamin dibanding sekolah swasta.
Menurut Benyamin, mutu pendidikan yang rendah merugikan siswa, orangtua, masyarakat dan dunia pendidikan di NTT. Juni 2019, Kemendagri meminta jatah 30 anak lulusan SMA/SMK dari NTT masuk perguruan tinggi, mengikuti program ikatan dinas Kemendagri, tetapi setelah diseleksi hanya 10 yang lulus, 20 yang lain diambil dari provinsi lain.
Bagaimana pun tanggungjawab tetap ada pada guru. Meski saat ini penentu kelulusan bukan pada UN, tetapi oleh pihak sekolah. UN tidak menentukan kelulusan, tidak berarti guru sesukanya mengajar dan memberi nilai. Apa manfaatnya jika siswa mendapat nilai tinggi tetapi lulusan SMK tidak bisa diterima di perguruan tinggi atau di dunia kerja.
Mantan penjabat bupati Alor (Juni 2018-April 2019) ini mengatakan, guru –guru belum sepenuhnya mencurahkan perhatian untuk membangun dunia pendidikan yang berkualitas di NTT. Guru masih berprinsip hadir 100 persen, memberi nilai yang membuat siswa dan orangtua senang, dan tetap lancar mendapat gaji dan sertifikasi bulanan.
“Meski ini pengamatan dan asumsi saya, tetapi asumsi ini mendekati fakta. Ribuan lulusan SMK atau sederajat, tidak mendapatkan pekerjaan karena kualitas lulusan rendah. Siapa yang bersalah,”kata Benyamin.
Ketua Komisi V DPRD NTT yang membidangi masalah pendidikan, Jimy Sianto mengatakan, harus ada revolusi tingkat tinggi untuk dunia pendidikan di NTT khususnya tingkat sekolah dasar, dan sekolah menengah. Guru-guru harus diseleksi ketat oleh tim dari luar. Apakah mereka layak mengajar berbasis kurikulum atau tidak.
Ketua Dewan Pendidikan NTT Simon Riwu Kaho mengatakan, masalah pendidikan di NTT terletak pada lima hal yang perlu segera dibenahi, jika NTT ingin agar mutu pendidikan tingkat SD sampai SMA membaik. Pertama, manajemen pendidikan lemah. Para kepala dinas pendidikan mulai dari tingkat provinsi sampai kabupaten/kota diangkat berdasarkan jasa yang bersangkutan dalam pemilihan kepala daerah. Mereka yang menempati jabatan sebagai kepala dinas, tidak memiliki kompetensi sama sekali.
Kedua, pengangkatan kepala sekolah pun demikian. Mereka yang terlibat dalam tim sukses calon gubernur, calon wali kota, dan calon bupati bakal diangkat menjadi kepala sekolah. Bahkan ada sejumlah kepala sekolah memiliki kepangkatan jauh lebih rendah dari sejumlah guru di sekolah itu.
Ketiga, hampir 90 persen masyarakat NTT menginginkan sekolah gratis, yakni ramai-ramai memilih sekolah negeri agar tidak ada pungutan. Sekolah –sekolah negeri pun ingin mendapatkan siswa dalam jumlah besar sampai memajang tulisan “sekolah bebas biaya, atau gratis”, sampai sebagian besar sekolah negeri menerima siswa sampai 14 rombongan belajar. Menurut Simon, sekolah yang disebut gratis, dan banyak siswa, sama dengan sekolah bermutu rendah, lemah, asal-asalan.
Ia mengamati beberapa sekolah negeri di Semarang dan Bandung, meski mendapatkan sarana dan prasarana dari pemerintah tetapi orangtua tetap membayar sampai Rp 5 juta per semester per siswa. Tidak heran sekolah negeri itu menghasilkan lulusan sangat bermutu.
Tetapi ia mengagumi sekolah-sekolah swasta di NTT terutama sekolah-sekolah katolik. Sekolah-sekolah ini yang mengangkat prestasi pendidikan di NTT di tingkat nasional.
“Misalnya, SMA Seminari Hokeng di Larantuka, Mataloko di Bajawa, Kisol di Manggarai, dan SMA Seminari Nenuk di Atambua. SMA katolik Suryadikara Ende, SMA katolik Giovanni Kupang. Biaya pendidikan di sekolah –sekolah ini ini tidak murah. Siswa masuk awal, kelas 10 wajib membayar sampai Rp 12 juta per semeseter per siswa. Tetapi mutunya bagus karena disiplin tinggi, guru-guru berkualitas, dan menerapkan kurikululum terbaik,”kata Simon.
Keempat, standar kompetisi kelulusan tidak jelas. Tidak didesain sejak siswa kelas 10 tetapi pada kelas 12 sehingga persiapan menghadapi UN terkesan mendadak. Hasil UN pun jauh dari harapan.
Kelima, penerapan delapan standar nasional pendidikan oleh pemerintah, sebagian besar tidak terpenuhi di NTT. Masih banyak sekolah negeri tidak memiliki sarana dan prasarana belajar yang memadai seperti buku sekolah, perpustakaan dan laboratorium sekolah, gedung sekolah tidak layak pakai, dan guru-guru direkrut tidak sesuai kompetensi tetapi masih berpatok pada kepentingan politik dan unsur lain seperti suku dan agama.