Direktorat Jendral Cipta Karya, Kementerian PUPR akan menata 11 kampung kumuh di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah melalui Program Kota Tanpa Kumuh. Pemerintah menganggarkan dana Rp 14,5 miliar. Penataan ditargetkan selesai akhir 2019 itu.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
SLAWI, KOMPAS -- Direktorat Jendral Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan menata 11 perkampungan kumuh di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah melalui Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp 14,5 miliar untuk penataan kawasan kumuh yang ditargetkan selesai pada akhir 2019 itu.
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Tegal nomor 239 tahun 2016, luasan kawasan kumuh di Kabupaten Tegal mencapai 487 hektar. Wilayah itu tersebar di 22 desa di 11 kecamatan. Tahun ini, Kabupaten Tegal berencana menata 11 dari 22 perkampungan kumuh yang ada.
Menurut Kepala Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Pemukiman, Tata Ruang, dan Pertanahan (Perkimtaru) Kabupaten Tegal Jaenal Dasmin, perkampungan kumuh yang akan ditata antara lain, Desa Grogol, Desa Karanganyar, Desa Kebasen, Desa Pesarean, Desa Tembok Banjaran, dan Desa Tembok Luwung. Selain itu Desa Harjosari Lor, Desa Harjosari Kidul, Desa Kalisapu, Desa Slawi Kulon, dan Desa Tegalandong. Dana yang digelontorkan untuk masing-masing desa berkisar antara Rp 1 miliar - Rp 2 miliar.
Luasan kawasan kumuh di Kabupaten Tegal mencapai 487 hektar. Wilayah itu tersebar di 22 desa di 11 kecamatan.
"Tahun ini sebenarnya kami mengajukan penataan untuk 14 desa kumuh. Akan tetapi, yang disetujui baru rencana penataan di 11 desa itu," kata Jaenal, Jumat (2/8/2019) saat ditemui di Desa Pesarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal.
Koordinator Kota Program Kotaku Kabupaten Tegal Hendro Priyo Susanto mengatakan, suatu daerah dapat dikatakan kumuh apabila di kawasan tersebut ada ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang ada tidak memenuhi syarat.
"Kondisi sarana prasarana tidak memenuhi syarat dapat dilihat dari beberapa indikator seperti, keteraturan bangunan, kondisi jalan lingkungan, drainase lingkungan, penyediaan air bersih atau air minum, pengelolaan persampahan, pengelolaan air limbah, pengamanan kebakaran, dan ketersediaan ruang terbuka publik," ucap Hendro.
Menurut Hendro, di Desa Pesarean, ada beberapa masalah yang membuat daerah tersebut dikategorikan kumuh. Permasalahan tersebut antara lain, saluran drainase buruk, pengelolaan sampah dan limbah yang buruk, akses jalan buruk, bangunan tidak teratur, serta pengamanan kebakaran rendah.
Berdasarkan pantauan Kompas, Jumat siang, rumah-rumah warga di Desa Pesarean berdempetan satu sama lain. Hampir tidak ada celah antara satu bangunan dengan bangunan lainnya. Luas lahan permukiman yang dihuni 12 juta orang itu sekitar 4 hektar.
Sebagian warga di desa itu membangun rumah di atas saluran drainase. Hal itu membuat saluran draninase di desa tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Tak hanya membangun rumah di atas saluran drainase, menurut Suwito, beberapa warga juga menimbun saluran drainase dengan sampah. Suwito (54), warga Desa Pesarean mengatakan, sudah belasan tahun Pesarean selalu terendam banjir saat musim penghujan.
"Desa Pesarean ini memang langganan banjir. Hampir setiap hujan pasti banjir hingga setinggi lutut orang dewasa," ujar Suwito.
Suwito ingat betul, akhir tahun lalu saat hujan deras, banjir dengan ketinggian sekitar 50 sentimeter merendam 15 RT dari 37 RT yang ada di Desa Pesarean. Banjir tersebut baru surut dua hari setelah hujan.
Suwito bersyukur karena tahun ini desanya mendapatkan bantuan sebesar Rp 2 miliar untuk pembangunan saluran drainase, pembangunan saluran air di setiap gang, dan betonisasi jalan. Proyek ini diharapkan bisa selesai sebelum musim penghujan, sehingga, tahun ini Pesarean tidak lagi dilanda banjir.
Adapun Fasilitator Desa Pesarean dalam Program Kotaku, Widodo mengatakan, pembangunan fasilitas umum tersebut tidak akan ada artinya apabila masyarakat tidak mau mengubah kebiasaan mereka membuang sampah sembarangan. Widodo berharap, pembangunan fisik lingkungan diiringi dengan perubahan perilaku masyarakat.