Jemari Sri Kusuma Siswanti (60) lincah menggunting plastik bekas bungkus kopi instan. Guntingan plastik berbentuk persegi panjang kecil-kecil tampak berkilat jatuh di atas meja.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Jemari Sri Kusuma Siswanti (60) lincah menggunting plastik bekas bungkus kopi instan. Guntingan plastik berbentuk persegi panjang kecil-kecil tampak berkilat jatuh di atas meja. Setelah cukup menumpuk, Sri menjumputnya lalu memasukkan plastik itu ke dalam botol bekas air mineral. Dengan menggunakan sebatang kayu dari ranting pohon, Sri memadatkan plastik dalam botol itu untuk dijadikan ecobrick.
”Plastik-plastik ini saya dapat dari warung kopi di perempatan jalan sana. Tiga hari sekali saya ambil dan bisa untuk membuat 1 ecobrick,” ujar Sri di rumahnya di RT 001 RW 003, Desa Sudagaran, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (6/8/2019).
Sri hidup seorang diri, tanpa anak dan suami, karena meninggal dunia. Sehari-hari Sri menggantungkan hidup dari lima kamar indekos sederhana yang disewakannya kepada pedagang keliling di sekitar Banyumas dengan biaya Rp 200.000 per bulan. ”semuanya penuh. Ini hanya ada tiga kamar terisi,” ujarnya.
Sri menyampaikan, jika uang dari sewa indekos habis memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia pun mengandalkan sampah-sampah plastik yang dibuat jadi ecobrick serta limbah kardus, botol mineral, dan koran yang dikumpulkan dari lingkungan sekitarnya. ”Kalau kepepet tidak punya uang, ecobrick ini dibawa ke bank sampah. Buat apa malu, ini kan tidak mencuri. Kalau tidak pintar-pintar seperti ini, bagaimana,” papar Sri.
Plastik-plastik ini saya dapat dari warung kopi di perempatan jalan sana. Tiga hari sekali saya ambil dan bisa untuk membuat 1 ecobrick.
Bank sampah
Bank Sampah Mutiara, Desa Sudagaran, membeli sebuah ecobrick dari warga dengan bobot 2 ons seharga Rp 800, sementara ecobrick dengan bobot 2,5 ons dibeli dengan harga Rp 1.000. ”Dulu kami bingung mengelola sampah plastik karena kurang bernilai ekonomis dibandingkan botol plastik, kertas, dan kardus. Sampai kemudian ada pelatihan membuat ecobrick, lalu kami mulai memanfaatkan sampah plastik untuk kerajinan termasuk meja dan kursi,” kata Koordinator Bagian Pengepul Sampah Bank Sampah Mutiara Djuwahir.
Djuwahir menyampaikan, sosialisasi pengelolaan sampah plastik menjadi ecobrick kemudian dikembangkan menjadi perlombaan antar-RT pada 2018. Perwakilan masing-masing RT membuat aneka perlengkapan rumah tangga, seperti meja, kursi, rak buku, tempat galon air minum, dan wadah pot bunga.
”Setelah lomba, warga diajak membuat ecobrick di rumah masing-masing dan bisa menjualnya kepada bank sampah. Sebagian besar yang membuat ecobrick adalah ibu rumah tangga. Sejak dari rumah, warga sudah memilah sampah,” katanya.
Bank Sampah Mutiara ini pun pernah melayani pesanan tiga set meja-kursi dari dinas sosial setempat dengan harga Rp 300.000 per set. Ada tiga kursi dan satu meja.
”Satu kursi perlu 19 ecobrick atau rata-rata butuh sekitar 4 kilogram sampah plastik. Satu set meja-kursi setidaknya membutuhkan sampah plastik sampai 16 kilogram,” tutur Djuwahir. Saat ini, di bank sampah tersedia sekitar 120 ecobrick yang ke depannya akan dijadikan meja-kursi serta pagar.
Setelah lomba, warga diajak membuat ecobrick di rumah masing-masing dan bisa menjualnya kepada bank sampah. Sebagian besar yang membuat ecobrick adalah ibu rumah tangga. Sejak dari rumah, warga sudah memilah sampah.
Selain menerima sampah dalam bentuk ecobrick, bank sampah ini juga melayani tabungan sampah. Berdiri sejak 2014, ada 130 anggota yang terdaftar di bank sampah ini. Setiap bulan bank sampah ini rata-rata menerima 320 kilogram sampah anorganik dari masyarakat, antara lain sampah berupa botol, ember plastik bekas, kardus, karton, serta tas plastik kresek.
“Rata-rata sebulan dapat Rp 100.000 sampai Rp 200.000 dari menjual sampah itu ke pengepul sampah besar,” ujar Koordinator Bank Sampah Mutiara Agun Pujantara.
Menurut Agun, sebelum berdiri bank sampah, desa yang dihuni 1.500 keluarga ini lingkungannya kurang terawat dan kotor. ”Dulu orang sering membuang sampah ke Sungai Tembelang di sebelah balai desa ini. Sungai itu dulu penuh sampah. Tapi sekarang kesadaran untuk mengelola sampah dan membuang sampah pada tempatnya sudah mulai meningkat,” ujarnya.
Melalui sosialisasi dan ajakan untuk memilah sampah sejak dari rumah, desa ini perlahan mulai bersih dan warga saling menegur jika ada yang masih membuang sampah sembarangan di sungai.
Sebagai ganjarannya, desa ini pun meraih Juara I Lomba Kebersihan dan Pertamanan Tingkat Kabupaten Banyumas pada 2017, Juara I Lomba Lingkungan Bersih dan Sehat Tingkat Provinsi Jawa Tengah pada 2017, dan Juara Harapan II pada Lomba Lingkungan Bersih dan Sehat tingkat nasional.
Pengolahan terpadu
Sampah yang tidak terpilah dan terolah di tingkat desa berpotensi menjadi beban di pengeolahan tingkat selanjutnya. Misalnya, di hanggar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sumbang di Desa Karangcegak menerima sekitar 40 ton sampah per hari dari lima kecamatan.
Walakin baru 30 persen sampah bisa diolah di sana. Pengolahan itu antara lain sampah plastik dipilah dan dijual kembali sebanyak 6 ton dan sisanya menjadi kompos dan residu atau sampah tidak bernilai ekonomis sehingga dibakar.
Untuk memilahnya, TPST ini menyerap 60 tenaga pemilah sampah dari desa sekitar. Inem (50), salah satu petugas pemilah sampah yang juga warga Desa Karangcegak, mengatakan, dia bekerja mulai pukul 07.30 hingga 15.30 dan mendapat upah Rp 30.000 per hari. ”Satu kelompok ada delapan orang. Setiap hari kadang bisa memilah sampah plastik sampai 300 kilogram,” kata Inem.
Hanggar di Sumbang ini merupakan salah satu dari lima hanggar sampah yang ada di Kabupaten Banyumas. Per hari sampah di Banyumas mencapai 600 ton, tetapi baru sekitar 55 persen yang terolah. Baru di hanggar Sumbang inilah yang menggunakan satu mesin pencacah dan pemilah sampah organik dengan anorganik karya Pujo Hartono dari Purbalingga.
Mesin ini mampu melumat sampah organik hingga menjadi bubur sampah organik yang dapat dimanfaatkan untuk kompos serta pengembangan magot sebagai sumber pakan ikan atau unggas. ”Masyarakat tidak terbiasa memilah sampah sejak dari rumah. Akibatnya sampah menggunung di penampungan sampah.”
Padahal, 70 persen sampah merupakan sampah organik,” kata Pujo yang telah mengembangkan mesin tersebut sejak 6 tahun terakhir dan mesinnya telah terdaftar dalam hak kekayaan intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kompas.id, 5/5/2019).