Jurnalisme Bermutu Akan Kembali Menemukan Jalannya
Masa depan jurnalisme bermutu, dinilai akan kembali menemukan jalannya, saat masyarakat jenuh dengan peredaran hoaks atau kabar bohong. Meski begitu, pemerintah diminta tetap membuat regulasi mencegah terus maraknya penyebaran hoaks di tanah air.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
BATU, KOMPAS – Masa depan jurnalisme bermutu, dinilai akan kembali menemukan jalannya, saat masyarakat jenuh dengan peredaran hoaks atau kabar bohong. Meski begitu, pemerintah diminta tetap membuat regulasi mencegah terus maraknya penyebaran hoaks di tanah air.
Hal itu menjadi benang merah diskusi panel dalam Lokakarya Media Periode II, yang digelar oleh Perwakilan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Jawa Bali dan Nusa Tenggara (SKK Migas Jabanusa), 5-6 Agustus 2019 di Kota Batu, Jawa Timur. Diskusi membahas tema besar media massa, dunia siber dan berita hoaks.
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut Wakil Ketua PWI Jawa Timur Bidang Kerjasama Luthfil Hakim, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Pusat Wenseslaus Manggut, Bupati Magetan Suprawoto, serta Kepala Direktorat Reskrimsus Polri Komisaris Besar Widodo. Acara dibuka oleh Kepala Perwakilan SKK Migas Jabanusa Nurwahidi.
Dalam kesempatan itu, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Pusat Wenseslaus Manggut, mengatakan bahwa pengguna internet di tanah air sebesar 170 juta jiwa, dari total penduduk 260 juta jiwa. Adapun jumlah akun FB di tanah air, saat ini sudah mencapai 150 juta akun.
Dari jumlah pengguna internet di tanah air kata Wenseslaus, maksimal 30-50 juta orang membaca berita direct (langsung) ke media arus utama. Pun, masyarakat nol persen langsung mengakses media abal-abal penyebar hoaks secara direct atau langsung. "Realitanya adalah sebanyak 70 persen orang mengakses berita hoaks dari media referral atau rujukan yaitu perusahaan teknologi informasi seperti media sosial dan mesin pencari,” ujarnya.
Realitanya adalah sebanyak 70 persen orang mengakses berita hoaks dari media referral atau rujukan yaitu perusahaan teknologi informasi seperti media sosial dan mesin pencari
Hal itu dikatakan, sebab menurut Wenseslaus, media massa arus utama terikat dengan beragam aturan seperti UU Pers, UU ITE, dan pedoman dunia siber. “Sementara mereka, kelompok di sebelah (yaitu yang menumpang pada platform perusahaan teknologi informasi dan media sosial), tidak memiliki aturan. Itu sebabnya, pemerintah butuh mengaturnya agar hoaks tidak terus merajalela,” katanya.
Mendata media
Cara-cara menutup penyebaran hoaks itu menurut Wenseslaus bisa dilakukan dengan beberapa hal. Yaitu, pemerintah mendata media-media yang terus bermunculan dan mengaturnya dengan regulasi, mencegah penyebaran hoaks sejak dari hulu yaitu saat membuat domain (artinya wewenang ada di Kementerian Komunikasi dan Informasi), berkerjasama dengan platform referral seperti media sosial dan mesin pencari, serta mematikan ekosistem bisnisnya yaitu melalui iklan-iklan adsense dari mesin.
Iklan adsense ini akan muncul otomatis pada situs pemberitaan yang banyak dikunjungi pembaca, dan setiap iklan tersebut terklik oleh pembaca, maka pemilik situs akan mendapat uang.
“Mencegah hoaks tidak bisa kerja sendiri, harus bekerjasama dengan perusahaan IT (media sosial dan mesin pencari). Berikutnya, semua pihak harus mematikan ekosistem bisnis yang menyuburkan hoaks yaitu iklan adsense. Kalau pendataan sudah ada, maka bisnis adsense atau iklan sebaiknya hanya dilakukan di media-media yang benar (bukan abal-abal). Pendekatannya mungkin bukan hukum, namun pendekatan teknologi,” katanya.
Hoaks atau kabar bohong sendiri, lambat laun, menurut Wenseslaus akan mendesak bisnis dan kredibilitas media arus utama. Sehingga, bisa jadi kabar bermutu dan media arus utama pun bisa dianggap kabar bohong.
Meski maraknya pemberitaan bohong, Wakil Ketua PWI Jawa Timur Bidang Kerjasama Luthfil Hakim mendorong jurnalis untuk tetap memegang kode etik dan berpegangan pada aturan UU Pers. “Jurnalisme ideal masih akan hidup. Saya percaya, ini bukan lagi omong bisnis tapi kualitas, jurnalisme nilai. Itu kebanggaan kita sebagai jurnalis,” kata Hakim.
Idealisme
Wenseslaus menambahkan, saat ini adalah situasi di mana jurnalis harus kembali ke jalan idealisme. “Ini situasi di mana teman-teman harus bersiap kembali ke jalan idealisme. Kembali membuat konten yang baik, bukan konten 3-5 aline. Saya percaya kondisi itu akan datang, di mana jurnalisme bermutu akan kembali menemukan jalannya. Kondisi di mana berita bisa dilakukan dengan sistem berbayar dan mudah,” katanya. Pemberitaan berbayar dengan sistem pembayaran mudah, menurut Wenseslaus, akan menjadi salah satu cara menyaring berita hoaks merajalela.
Adapun Kepala Perwakilan SKK Migas Jabanusa Nurwahidi mengatakan bahwa media merupakan stakeholder penting bagi industri hulu migas. Dengan kerjasama baik, diharapkan akan menghasilkan hal baik yang bisa dipersembahkan untuk bangsa.
“Saat ini kita berkumpul untuk melakukan sinergi, agar ke depannya pemberitaan terkait kegiatan industri hulu migas dapat berdampak positif terhadap kemajuan industri hulu migas," katanya.
Untuk itu Nurwahidi berharap kepada awak media, untuk mampu mengedukasi masyarakat terhadap peran penting industri migas yang saat ini berperan menjadi lokomotif pendorong ekonomi Nasional. "Semoga kegiatan ini dapat memberikan kita pengetahuan dalam hal pengenalan media siber, berita hoaks, dan peraturan terkait,” ucapnya.